Saat ini, Aparatur Sipil Negara (ASN) memang harus meminta izin pejabat bila hendak berpoligami. Seorang ASN harus memenuhi syarat alternatif dan syarat kumulatif jika hendak berpoligami. Syarat kumulatifnya adalah adanya pernyataan tertulis dari istri yang mengizinkan poligami.Â
Kecuali bila ASN perempuan yang memang dilarang menjadi istri kedua. Untuk pejabat publik, keketatan persyaratan itu belum lazim dilakukan. Misal, seorang anggota DPR berpoligami, ia harus minta izin ke pejabat yang menjadi atasannya. Siapa? Presiden? Tak bisa dirumuskan.
Setelah malu-malu di awal, barulah PSI tegas mengatakan akan memperjuangkan revisi atas Undang-undang No.1 Tahun 1974, yang memperbolehkan poligami. Di sini persoalan baru akan menjadi sangat serius.
PSI Bermain-main dengan Isu yang Sensitif
Ketika PSI mengatakan akan memperjuangkan perombakan revisi UU Perkawinan, kita patut menjadi was-was. Dua kali sudah PSI menyentuh isu agama. Dalam isu pertama soal perda agama, memang masih diperdebatkan, karena tafsir konstitusi bisa menampilkan dua pendapat yang berbeda secara jelas. Tapi dalam kasus poligami, PSI jangan-jangan justru bisa mencabut salah satu sandaran kebangsaan kita.
Seperti yang diungkap sebelumnya, Hukum Islam dijadikan salah satu sumber hukum. Dengan mencabut keberadaannya, tidak diakuinya hukum Islam sebagai salah satu sumber atau tak ada tempat bagi hukum Islam, PSI akan mencederai ketenangan umat Islam. Sebab jelas, hukum dasar dari berpoligami adalah mubah/boleh. Bila negara melarang itu atau berarti sama dengan mengharamkannya, maka akan ada sesuatu yang dihadap-hadapkan.
Namun, saat memikirkan ini, saya berpikir PSI sengaja melakukan ini semua bukan untuk tujuan tersebut. Sebagai partai baru, PSI butuh ekspos besar-besaran tentang dirinya. Ia butuh diberitakan terus-menerus dengan iklan gratis. Apa caranya? Ya, bikin berita kontroversial semacam ini.