Kali Ambon berada di dekat lapangan tembak yang dikelilingi hutan belantara. Rasa takut warga setempat terhadap kawasan itu sangat kuat karena adanya cerita-cerita seram yang menyelimutinya. Ketakutan itu langsung atau tidak, membuat kealamian kawasan itu terjaga. Kali Ambon memiliki daerah yang menjadi tempat tangkapan air dengan pohon-pohon besar yang membentenginya.
Daerah-daerah lain juga memiliki ketakutan terhadap kesakralan wilayah mata air. Di Banyuwangi, terdapat dua mata air yang berdampingan. Mata air Pengantin. Dipercaya, bila ada yang berpacaran apalagi melakukan perzinahan, mata air itu akan mengering.Â
Dibanyak wilayah di pulau Jawa, dikenal yang namanya nyadran. Warga setempat melakukan pemujaan ke mata air, ke pohon-pohon besar. Pengeramatan mata air dilakukan, bahkan tidak boleh membunuh hewan-hewan yang berada di sekitarnya. Jika itu dilakukan, sang pelaku akan mendapatkan kesialan. Sang penunggu mata air akan marah dan memberikan hukuman.
Modernisme memangkas rasa takut itu. Manusia jadi sedemikian berani meraup keuntungan sebesar-besarnya bahkan bila harus mengorbankan alam. Memudarnya nilai kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya air terjadi. Fungsi sosial-ekologi yang selama ini diemban masyarakat berubah menjadi fungsi ekonomi.
Kerusakan lingkungan menjadi penyebab utama hilangnya mata air tersebut. Ketua Yayasan Buruh dan Lingkungan Hidup (2010) mengungkapkan 1500 mata air di Cirebon menyusut hingga 52 mata air saja dikarenakan adanya kerusakan lingkungan di kawasan Gunung Ciremai akibat penggundulan hutan dan aktivitas galian[6].
Pada intinya, pengelolaan dan pembagian lahan yang kurang bijaksana berdampak pula pada alih fungsi lahan yang tersedia untuk kebutuhan masyarakat seperti adanya pembangunan perumahan di wilayah Dago Pakar dan Sukamoro yang tidak memperhatikan aspek lingkungan tersebut.
Alih fungsi lahan dari lahan hijau terbuka menjadi daerah terbangun akan mengakibatkan terjadinya perubahan siklus hidrologi (Yuswadi, 2003)[7].
Peningkatan aliran permukaan serta menurunnya volume resapan air ke dalam tanah akan menyebabkan terjadinya erosi dan menurunnya permukaan tanah di daerah hulu serta menyebabkan banjir dan genangan wilayah di hilir (Sudarto et al., 2011)[8].
Sukamoro menjadi salah satu tempat eksploitasi tersebut. Pernah ada perusahaan air minum dalam kemasan yang memiliki sumber mata air yang berlimpah.
Namun, perusahaan air minum lokal tersebut kini telah bangkrut, karena sumber mata airnya sudah tidak mengeluarkan air layak minum lagi. Kondisi tersebut tidak membuat masyarakat kapok. Mereka mengebor tanah ratusan meter untuk mendapatkan air bersih yang diperjualbelikan dengan atau tanpa kemasan.
Eksploitasi air tersebut dilakukan tanpa perhitungan yang memadai. Dalam salah satu wawancara dengan pemilik usaha air, banyak warga yang melakukan penambangan air tanpa lisensi. Dengan hanya memperhitungkan letak sumber air berdasarkan kondisi geografis, pengeboran dilakukan. Setelah dipanen, air dijual melalui mobil bertangki ke masyarakat.