Bagaimana dengan Gagasan Arco? Membaca Palembang?
Sebagai sesama orang Palembang jenis hybrid, keturunan darah-kotor, yang tidak punya sangkut paut dengan ke-Palembangan, kecuali lahir dan membesar di Sumatra Selatan, saya mau tak mau membandingkan cara mata Arco membaca Palembang dengan cara saya membaca, yang tak begitu jauh berbeda.
Arco membuat sajak berjudul Pempek. Pasti kalian semua setuju, kalau hal paling terkenal dari Palembang adalah pempek. Dulu, ciri yang bisa dibawa pulang untuk oleh-oleh dari Palembang adalah pempek saja. Tak ada yang lain, kecuali cerita-cerita buruk tentang betapa tak amannya Palembang (terutama sebelum PON 2002).
Para tamu yang berdatangan, makan pempek itu, tak pernah tahu cerita panjang di balik pembuatan pempek.
Arco memiliki kegelisahan itu. Pempek barangkali satu-satunya ke-Palembangan yang paling dikenal dan masih tersisa. Tak ada hal lain yang bisa dibanggakan dari Palembang. Dan tak ada hal lain pula, yang bisa menjadi ciri jika ada orang bertanya, "Apakah Palembang itu?"
Dan lengan-lengan sungai dan jembatan
Jala menjaring keringat dan kening
Turis bertandang dan melahap lenggang
Sudah kenyang, mereka pulang.
Sajak-sajak lain tentang ke-Palembangan itu juga bisa kita simak dalam Terzet Kembang Dadar dengan meng-interteks ke Putri Kembang Dadar, Gending dengan membaca pula Gending Sriwijaya, Si Mata Empat yang merupakan musuh Si Pahit Lidah, hingga sajak-sajak yang menyertakan cerita Siti Fatimah dan Tan Bun Ann sebagai legenda di balik munculnya Pulau Kemaro di tengah sungai Musi.
Sebagai manusia hybrid, ke-Palembangan Arco tidak menjadikan Palembang sebagai tempat pulang. Palembang hanyalah tempat yang ia rindukan, untuk dikunjungi dan disinggahi setelah ia lelah bertualang. Tapi, ia tidak akan menetap di sana. Ia akan pergi lagi setelah itu. Tak tahu ada kenangan sejahanam apa yang ia benci sekaligus ia cintai dari Palembang.