Namanya Purwoto Nur Wahono. Beliau adalah Direktur Badan Usaha Miik Desa (BUMDes) Kemudo Makmur yang sudah beroperasi sejak 2016. Saya berkesempatan bertemu beliau saat field trip Danone Blogger Academy, 12 Oktober lalu.
Segera, saya ajak beliau berbincang tentang banyak hal terkait BUMDes. Maklum, tahun lalu, saya masuk tim penulisan buku Kisah Sukses Dana Desa di Ditjen Perbendaharaan, Kementerian Keuangan. Di buku tersebut, tiap Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) menulis satu desa terpilih yang dianggap sukses mengelola Dana Desa. Salah satu variabelnya adalah kesuksesan dalam membentuk BUMDes. Kalau tak salah, tak ada nama Kemudo di sana. Padahal, omset yang didapat BUMDes Kemudo Makmur mencapai Rp3,7 miliar, dan tahun ini ditarget mencapai Rp5 miliar.
"Tapi, desa ini mendapatkan Dana Desa, bukan?" tanya saya.
"Iya. Sebagian besar Dana Desa masih digunakan untuk pembangunan infrastruktur desa. Tahun depan baru kita mengajukan penganggaran dari Dana Desa."
"Lalu dari mana modal BUMDes ini?"
"Alhamdulillah, kami mendapatkan dana dari CSR Sarihusada. Sekitar Rp50.000,- per kepala keluarga. Dikalikan sekitar 1.600 kepala keluarga..."
"Jadi 80 juta, ya?" tukas saya.
Lantas usaha apa yang dilakukan BUMDes Kemudo Makmur?
Saat ini, BUMDes Kemudo Makmur mengelola limbah. Limbah yang dikelola Bumdes Kemudo Makmur berupa limbah kering seperti karton, plastik, pallet kayu, jerigen dan lainnya. Limbah-limbah tersebut diperoleh dari wilayah Desa Kemudo karena desa ini termasuk kawasan daerah Industri. Limbah-limbah tersebut didistribusikan ke empat pengepul kerosok yang ada di Kemudo. Selain itu limbah juga didistribusikan di 15 pengrajin yang memanfaatkan limbah kering. Limbah itu kemudian dijadikan kerajinan mebel seperti meja, kursi atau dinding jam. Setiap bulan jumlah limbah kering yang dijual Bumdes mencapai 30 ton hinga 40 ton.
Selanjutnya beliau menunjukkan kepada saya kebun organik. Terong, tomat, dan cabai ditanam di saya. Beliau mengatakan kebun ini masih merupakan percontohan . Nantinya kebun serupa akan diadakan di tiap RW, bahkan tiap RT. Dengan demikian, selain bisa mencukupi kebutuhan sendiri, hasilnya bisa dijual ke desa lain.
"Apa ada tempat wisata, Pak?" tanya saya lagi.
Beliau menjelaskan sekitar 1,5 kilo dari tempat kami, ada wahana sungai yang bersih. Saat ini, baru anak-anak SD yang suka menggunakan sungai tersebut sebagai arena bermain dan belajar. Ke depannya, ada wacana untuk mengelola sungai sehingga lebih bermanfaat. "Tapi tentunya, hal ini harus dimusyawarahkan terlebih dahulu, barangkali ada warga desa yang tak setuju...."
"Berarti Kemudo potensial menjadi Desa Wisata?"Â
Beliau langsung menjawab tegas, TIDAK. Kemudo tidak akan dijadikan desa wisata. Kalau dijadikan desa wisata, maka akan ada keterlibatan Pemprov sehingga retribusi diserahkan ke Pemprov. Pendapatan desa justru berkurang dengan status desa wisata.
Saya pun hanya bisa mengangguk-angguk.
Semangat Desa
Lahirnya Undang-Undang Desa pada 2014 lalu menandai perubahan desa sebagai struktur pemerintahan terkecil yang ada dalam negara kita. Paling signifikan, hadirnya undang-undang tersebut membuat desa menerima Dana Desa mulai tahun 2015. Dengan adanya Dana Desa ini, diharapkan pembangunan akan berlangsung dengan baik di desa dan dapat menjadi inisial awal kemandirian desa.
Salah satu cara untuk membangun kemandirian desa adalah dengan pembentukan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Jumlah BUMDes meningkat signifikan. Pada akhir 2014, jumlah BUMDes hanya 1.022. Pada akhir 2017 jumlah BUMDes meningkat drastis menjadi 39.149. Kemudian pada 2018 ini tercatat sekitar 56 persen desa telah memiliki BUMDes. Namun, belum semua BUMDes efisien dalam mengelola BUMDes.
Kemudo Makmur patut dijadikan contoh. Usut diusut, Pak Purwoto tadinya adalah karyawan Astra yang kemudian berhenti untuk membangun desa. Pada saat kunjungan kami ke sana, hadir pula Sarjana yang balik desa untuk mengembangkan desa mereka. Hal itu membuat hatiku terenyuh. Di saat banyak orang mencari penghidupan di kota, ada orang-orang yang masih peduli desanya. Kesadaran semacam inilah yang perlu hadir di dada kita, bahwa membangun negara seharusnya dimulai dari membangun struktur terkecilnya, yaitu Desa.
Pada saat yang sama, saya mengingat Dicky Senda, seorang sahabat sastrawan dari Soe, Timur Tengah Selatan. Setelah selesai kuliah di Jogja, ia balik ke kampung halamannya di desa Taiftob, Â dan mendirikan Lakoat Kujawas, sebuah komunitas kewirausahaan sosial anak muda yang bergerak di bidang seni budaya. Semoga hadir di tulisan selanjutnya!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H