Negara tidak selamanya jadi pemersatu.
Begitulah hal yang muncul di benakku beberapa tahun lalu. Pilihan hidup membuatku bertugas di Sumbawa, sedangkan istri dan anakku yang masih balita berada di Bandung. Hampir selama 1,5 tahun kami menjalani "kekeluargaan jarak jauh" dan paling cepat kami bertemu satu bulan sekali. Normalnya dua bulan sekali.
Biasanya, Jumat siang aku berangkat dari Sumbawa ke Lombok, disambung dengan pesawat dari Lombok ke Bandung (transit di Bali). Sampai pasti tengah malam sekali. Sampai di rumah, anakku barang tentu sudah tertidur. Ketika terbangun, melihat abi-nya, ia akan segera memelukku, lalu berkata, "Abi, kapan kita beli es krim?"
Ya, anakku suka sekali makan es krim. Bahkan ketika aku pindah dari Sumbawa untuk menempuh tugas belajar di Bintaro, setiap kepulangan pada akhir pekan, ia akan menuntutku untuk membelikan es krim. Biasanya, kami makan Roti Oppa---sebuah warung es krim kekinian di Bandung beberapa tahun lalu. Tapi, lebih sering lagi, beli es krim di warung dekat rumah. Favoritku dan anakku, Campina, dalam bentuk cup.
Momen membelikan dan makan es krim bersama adalah momen puitik bagiku, sehingga aku pernah membuatkannya sebuah puisi tentang itu:
Membelikan Es Krim
aku akan membelikannya es krim setiap aku pulang ke rumah
aku tak ingin ia menyadari ada leleh yang lain
setiap kulihat dirinya, kerinduan mengamuk bagai banteng
ingin menyeruduk setiap benda yang berwarna merah
ia suka rasa vanila, dengan begitu, hatiku seperti bendera
kuperhatikan dengan seksama, detik demi detik yang ada
aku telah menjadi seorang ayah, dan suatu hari ia akan dewasa
menjadi seorang gadis yang memakai rok, memegang buku
dan menatapku dengan kenangan pertemuan di akhir pekan
aku selamanya menjadi pacarnya, cinta pertamanya
dengan segala kelemahan dan luputnya perhatian
sampai kubayangkan lelaki lain akan merampasnya dari pelukanku
ia akan duduk di pelaminan, memakai gaun, bunga-bunga
aku tidak tahu harus menghadiahi apa
aku akan memberikannya es krim, seperti setiap minggu
aku pulang ke rumah dan ia akan memelukku
kemudian ia akan memburu, tak membiarkan es krim itu meleleh
kemudian ia juga tak akan tahu, hatiku juga tengah meleleh
Kenapa Campina? Mungkin tak banyak yang tahu sejarah Campina, mengira es krim ini buatan luar negeri dan segala macam. Tidak demikian adanya. Saya pernah membaca dan tersentuh dengan kisah Campina. Pada tahun 1972, Campina didirikan dan mulanya dibuat di garasi. Nama CV-nya CV Pranoto, diambil dari nama Darmo Hadipranoto. Kebetulan pula, nama kakak kandung saya Adi Pranoto.
Di luar itu, Campina juga menunjukkan dirinya bukan sekadar perusahaan yang berorientasi keuntungan. Campina pernah mendapat penghargaan dari Menteri Lingkungan Hidup. Indonesia Green Company Achievement 2017.
Satu lagi yang penting, Campina menunjukkan kebanggaannya pada bahasa Indonesia dengan menggunakan kata "es krim" bukan "ice cream"". Hal ini secara tersirat menunjukkan percaya diri kita sebagai bangsa, ditengah gempuran inferioritas pada produk dan bahasa asing.
Sekarang, saya dan keluarga sudah tinggal bersama. Campina tetap ada dalam kebersamaan kami, terutama pada akhir pekan, setiap habis berenang. Pasti anak saya yang kini sudah kelas 1 SD itu akan menggamit tangan saya dan mengajak saya ke bakul es krim, dan ia pasti akan memilih rasa vanila. Tak apa bila negara tak selamanya jadi pemersatu, Campina yang tetap jadi pemersatu aku dan anakku.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H