Mohon tunggu...
Pringadi Abdi Surya
Pringadi Abdi Surya Mohon Tunggu... Penulis - Pejalan kreatif

Lahir di Palembang. Menulis puisi, cerpen, dan novel. Instagram @pringadisurya. Catatan pribadi http://catatanpringadi.com Instagramnya @pringadisurya dan Twitter @pringadi_as

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hoaks dan Kesadaran Literasi

3 Agustus 2018   16:49 Diperbarui: 3 Agustus 2018   16:57 363
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hoaks. Sumber: Posek Soppeng.

Aisyah pernah dituduh berzina dengan salah satu sahabat  Rasul, Shafwan bin Muaththal. Saat itu, Aisyah mengikuti Rasulullah SAW  dalam suatu peperangan. Aisyah tertinggal di belakang. Lalu, sang  sahabat yang mengantarkan Aisyah menyusul rombongan. Kemudian, kabar tak  sedap itu diembuskan oleh Abdullah bin Ubay bin Salul. Kabar itu sampai  ke telinga Rasulullah SAW hingga beliau sempat memanggil Ali bin Abi   Thalib dan Usamah ketika wahyu belum kunjung turun  untuk minta  pendapat kepada mereka berdua tentang perpisahan beliau  dengan Aisyah.

Singkat cerita, kabar itu terbukti hanyalah fitnah. Turun pula wahyu dalam Surat An Nuur, 11:

"Sesungguhnya   orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu   juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu  bahkan  ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka  mendapat  balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara  mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita  bohong itu  baginya azab yang besar."

Telah nyata, sejak  dahulu kala bahwa hoaks atau kabar bohong dapat meresahkan masyarakat,  bahkan bangsa. Untuk mengatasi hoaks, tentu ada dua dimensi yang harus  diperhatikan: pencegahan dan penindakan. Begitu bahayanya sebuah  kebohongan sampai-sampai, pada masa itu, mereka yang membantu  menyebarkan mendapatkan hukuman cambuk. Apalagi yang pertama kali  menyebarkan, tentu mendapatkan hukuman yang bikin jera.

Sebagai  Menteri Agama, saya akan memberikan rekomendasi kepada pihak yang  berwenang untuk memberikan hukuman bertingkat bagi para penyebar hoaks  sesuai dengan perannya.

Pencegahan Lebih Penting

Dalam  level kebijakan, pencegahan tindak kejahatan lebih terasa penting.  Untuk mencegah sesuatu, kita perlu mengetahui akar permasalahannya  terlebih dahulu.

Indonesia mendapatkan efek negatif sebagai negara  berkembang. Negara berkembang mau tidak mau hanya mengekor kepada  kemajuan zaman. Ke mana zaman bergerak, di sana kita mengikuti.  Perubahan dunia dengan budaya digital disadari atau tidak ternyata  membawa dampak buruk bagi kita. Sebab kita baru berbenah dari tradisi  budaya lisan menuju budaya tulisan. Sebelum mapan, budaya digital telah  masuk ke Indonesia.

Dampak dari arus digitalisasi informasi itu  adalah kita tenggelam dalam lautan informasi. Dalam lautan informasi  itu, kita tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah. Semua yang ada  di internet, media sosial, kita anggap sebagai kebenaran dan kita tak  ragu ikut menyebarkannya.

Pola pikir inilah yang harus dicegah,  yakni dengan kembali membangun pondasi budaya literasi yang secara  sederhana diartikan sebagai kemampuan membaca dan menulis. Namun,  sebenarnya literasi memiliki makna lebih. Literasi berarti pengetahuan.  Kemampuan literasi seseorang berarti seseorang tersebut memiliki  pemahaman terhadap sesuatu dan bertindak dengan pemahamannya itu.

Pematangan Kemampuan Literasi dan Kebijakan Sebagai Menteri

Abdul  Somad (UAS) pernah ditanya Aa Gym, apa masalah utama umat? UAS menjawab  masalahnya adalah energi umat banyak dihabiskan untuk sesuatu yang  tidak perlu, berdebat tentang sesuatu yang tidak perlu diperdebatkan.  Umat di Indonesia kebanyakan tidak tahu tentang perbedaan mazhab yang  ada, dan sibuk berdebat tentang siapa yang benar dan salah.  Ketidakpahaman pada perbedaan itu yang kemudian menimbulkan kebencian  dan kita sibuk bertengkar. Energi umat pun habis di sana tanpa sempat  memikirkan pembangunan ekonomi dan sosial kemasyarakatan.

Sebagai  Menteri Agama, saya bersama pihak-pihak terkait akan merumuskan kembali  kurikulum pendidikan agama di sekolah. Bukan hanya tentang adab dan  akhlak, serta ibadah-ibadah dasar, melainkan pada pemahaman perbedaan  mazhab sekaligus sejarah umat Islam. Pendidikan pengetahuan agama ini  akan mencegah pertengkaran dengan penyebaran hoaks yang tidak perlu.

Sebagai  contoh, tuduhan wahabi yang kerap dialamatkan ke berbagai kelompok  adalah hoaks. Dengan pemahaman tentang perbedaan itu, kita jadi tidak  saling tuduh. Hoaks-hoaks lain dalam konteks ibadah juga sering  disebarkan lewat media sosial. Dengan pemahaman pendidikan yang agama  yang baik, hal itu bisa diantisipasi. Kita jadi tahu bagaimana  membedakan hadits sahih dengan yang dhaif atau bahkan palsu. 

Pendidikan  adab yang baik juga akan melahirkan sifat tabayyun, atau mengecek  informasi sebelum membagikannya. Dalam kaitannya dengan literasi,  seseorang akan bertanya referensi terlebih dahulu sebelum  menyampaikannya. Budaya referensi ini dalam Islam juga sangat dijunjung  tinggi. Dalam menyampaikan suatu hal, kita kerap menyaksikan ustad-ustad  yang memegang teguh referensi selalu menyebut sanad/sumber pendapat. 

Budaya  literasi itu juga perlu digalakkan ke para dai. Ada wacana sertifikasi  dai misalnya untuk menjamin kualitas keilmuan pada dai. Namun, mengingat  bahwa wacana sertifikasi bisa menimbulkan konflik lain, ada wacana  alternatif seperti yang pernah dilontarkan Tuan Guru Bajang. Yaitu  sebagai pemerintah, saya akan mengadakan diklat/workshop dengan  mengundang tiap perwakilan dari tiap ormas Islam yang ada di Indonesia.  Di forum itu, kami akan saling bertabayyun dan berbagi pandangan tentang  dakwah. Segala berita bisa diklarifikasi terlebih dahulu sehingga tidak  ada lagi dai-dai yang menyampaikan sesuatu yang belum tentu  kebenarannya.

Sungguh menyedihkan memang bila dalam masyarakat  hoaks itu merajalela. Apalagi bila hoaks itu dilakukan oleh tokoh agama  terhadap Pemerintah. Padahal, adab terhadap Pemerintah secara khusus  diatur yakni untuk bertabayyun/mengkalrifikasi terlebih dahulu, termasuk  pula cara menasehati Pemerintah.

Di sini dapat disimpulkan, ada  beberapa hal yang penting. Pertama, peran Pemerintah (dalam hal ini  dominan Kementerian Agama) dalam menyusun kurikulum Pendidikan Agama.  Kedua, peran ulama dan dai. Serta ketiga, membangun kebiasaan  bertabayyun/mengklarifikasi dalam dialog yang hangat. Ketiga hal  tersebut akan membangun kesadaran literasi masyarakat dan dengan  sendirinya akan menangkal hoaks.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun