Dari karet, kemudian dia merambah perkebunan kelapa sawit. Dan setelah itu, kemampuan dan pengetahuannya yang di atas rata-rata membuat beliau dipercaya untuk membuat kebun dan mengelola kebun-kebun milik orang lain. Ia mengumpulkan mereka dalam satu manajemen kelompok tani.
Kacang tidak boleh lupa kulit. Baginya, wirausaha hanyalah efek samping karena kecintaannya pada bidang perkebunan. Beliau juga memiliki hasrat yang tinggi pada pendidikan. Beliau mengingat masa hidupnya ketika tinggal di Pematang Panggang (daerah di Lintas Timur antara Palembang dengan Lampung). Pada saat itu, beliau sering dianggap gila oleh masyarakat setempat karena nderes atau mengambil getah dari pohon karet.
Kegigihannya dalam menyosialisasikan nilai ekonomi karet pada akhirnya membuat hampir semua penduduk di sana, kini, bergantung pada karet. Di daerah itulah ia mengenang masa sulit hidupnya dan kemudian membangun sebuah sekolah, pondok pesantren yang operasionalnya disubsidi dari hasil kebunnya yang ada di sana.
Dedikasinya di bidang pendidikan itu membuatnya pernah diliput Metro TV sebagai Pahlawan di Bidang Pendidikan para Hari Pahlawan 2016 lalu. Sebuah keunikan tersendiri, seseorang tanpa latar belakang pendidik, memiliki gairah yang besar di bidang pendidikan dengan meyakinkan kelompok tani untuk menyisihkan sebagian keuntungannya sebagai dana awal membangun sekolah.
Kesan Lain
Banyak hal lain yang berkesan. Selain bergelut di bidang perkebunan, beliau juga kerap diundang sebagai penceramah. Pernah suatu saat, ketika masih kecil, aku diajak ke daerah Belitang (sekitar 6 jam dari Kota Palembang). Ia diundang sebagai penceramah pada acara Tahun Baru Islam. Lepas Subuh kami berangkat, juga bersama ibuku.
Aku bertanya padanya, "Kenapa mau ceramah jauh-jauh sih?". Ia hanya tersenyum, "Kalau semua orang berpikir sepertimu, lantas siapa yang akan memikirkan mereka? Dan ingati, ini bukan karena uang. Tapi karena Allah. Bapak yakin Allah akan senantiasa membantu orang-orang yang menegakkan agama-Nya. Bapak hanya mengharap ridho-Nya. Itu saja lebih dari cukup."
Aku termenung mendengarkan kata-kata itu. Memang benar, jika harus dihitung dengan materi, maka ini semua tak ada artinya. Aku juga ingat kata-kata Bapak: Jangan mencari nafkah di jalan dakwah, Kitalah yang harus menghidupi dakwah ini. Kalimat itu membuatku tersenyum. Meski fakta di luar sana ironis, ada oknum-oknum yang menjadikan dakwah sebagai lahan pendapatan.
Dalam berbisnis, pernah pula Bapak kena tipu orang. Aku masih ingat kerugian yang harus ditanggung itu cukup besar. Tapi anehnya, itu tak membuatnya panik. Ia tetap tersenyum seperti biasanya.