Debat Paslon Bupati Banyuasin kemarin memunculkan hal yang menarik. Dalam topik strategi pembangunan kawasan, salah satu calon wakil bupati, yakni Supartijo yang merupakan pasangan Nomor Urut 3, menyebut soal pentingnya pembangunan Jembatan Rantau Bayur yang sudah lama terbengkalai. Supartijo mengatakan, salah satu cara untuk "menyatukan" wilayah Banyuasin yang terdiri wilayah daratan dan perairan, kehadiran jembatan tersebut diperlukan.
Pembangunan jembatan Rantau Bayur dimulai sejak tahun 2013. Bupati kala itu meresmikan tiang pancang jembatan sepanjang 570 meter dan direncanakan selesai dalam waktu 3 tahun. Namun, apa mau dikata, pembangunan itu terhenti dengan alasan kekurangan dana.
Padahal, keberadaan jembatan ini sangat diperlukan oleh masyarakat, khususnya masyarakat Tebing Abang yang sudah lama "terisolasi" dipisahkan Sungai Musi. Selama ini, masyarakat pun menggunakan getek bila hendak menyeberang membeli kebutuhan hidup. Pilihan lain, masyarakat lebih suka pergi ke Pali ataupun Muara Enim melalui jalur darat yang lebih jauh sekali.
Namun, tiang pancang yang tegak itu mengkhianati harapan masyarakat. Jembatan dibangun dengan tertatih-tatih dan dikatakan baru selesai 50%. Tahun 2017 sama sekali tidak ada kelanjutan pembangunan. Masyaakat pun berteriak penuh pertanyaan bagaimana penyelesaiannya. Untungnya, teriakan itu didengar oleh salah satu calon yang menyadari pentingnya keberadaan Jembatan Rantau Bayur.
Pendanaan Jembatan
Perencanaan awal pembangunan jembatan menyebutkan kebutuhan dana sebesar 167 miliar rupiah. Angka itu bisa bertambah karena dipengaruhi faktor inflasi harga bahan baku/material yang dibutuhkan. Untuk melanjutkan proyek tersebut, tentu perlu evaluasi ulang atas dana yang dibutuhkan, selain tentunya menganalisis kelayakan bagian jembatan yang sudah terbangun karena tidak pernah menjadi objek pemeliharaan selama terbengkalai.
Tentu, sangat musykil, jika penerusan pembangunan hanya mengandalkan APBD Kab. Banyuasin yang sangat terbatas. Total APBD Banyuasin hanya sekitar 1,8 triliun dengan porsi belanja pegawai yang besar. Sempitnya ruang fiskal membuat pendanaan pembangunan ini tidak mungkin dari APBD semata.
Faktor kepemimpinan berperan dalam kelanjutan proyek ini dengan melakukan komunikasi hingga ke Pemerintah Pusat. Pembangunan jembatan Rantau Bayur harus dipertimbangkan masuk ke Program Prioritas pembangunan infrastruktur mengingat kestrategisan keberadaan jembatan tersebut.Â
Bila sudah menjadi Program Prioritas, kewenangan pembangunan akan beralih menjadi kewenangan pusat berikut status jembatannya, di bawah anggaran Kementerian PUPERA bila menggunakan Rupiah Murni, atau bisa juga melalui pembiayaan SBSN (Surat Berharga Syariah Negara) yang menjadi metode lain pembiayaan infrastruktur.
Bila status dan kewenangan hendak tetap berada di Pemerintah Kabupaten, cara yang bisa dilakukan adalah mendapatkan alokasi Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik dari pemerintah pusat. Cara ini menjadi alternatif, meski penulis meragukan kecukupan alokasi yang akan diberikan karena pengalokasian DAK Fisik didasarkan pada kriteria-kriteria perhitungan tertentu. Cara lain yang bisa dilakukan yang kurang lazim adalah melakukan komunikasi dengan pemerintah provinsi untuk menarik Hibah Luar Negeri.
Beberapa cara tersebut membutuhkan kemauan politik yang kuat dari pemimpin. Besarnya dana pembangunan infrastruktur memang memberatkan anggaran belanja, namun itu sebanding dengan multiplier effect yang ditimbulkan.Â
Silo-silo daratan dan perairan akan terkikis. Konektivitas antardaerah akan makin menguat. Mayoritas produksi pertanian dan perkebunan yang berada di wilayah perairan akan makin mudah terdistribusi yang tentunya akan menambah parameter kesejahteraan masyarakat seperti pertumbuhan ekonomi dan indeks pembangunan manusia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H