Mohon tunggu...
Pringadi Abdi Surya
Pringadi Abdi Surya Mohon Tunggu... Penulis - Pejalan kreatif

Lahir di Palembang. Menulis puisi, cerpen, dan novel. Instagram @pringadisurya. Catatan pribadi http://catatanpringadi.com Instagramnya @pringadisurya dan Twitter @pringadi_as

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Calon Independen dan Tantangannya

27 Februari 2018   17:14 Diperbarui: 27 Februari 2018   17:18 751
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seratus  tujuh puluh satu pilkada seretak pada Juni 2018 nanti, KPU telah  merilis 514 pasangan calon yang ditetapkan sebagai peserta Pilkada, dan  69 di antaranya adalah calon independen.

Enam puluh  sembilan pasang calon independen ini sudah memenuhi syarat yang  ditetapkan KPU. Pasangan calon perseorangan yang memenuhi syarat  sebanyak 69, yakni pasangan pemilihan gubernur berjumlah 3 pasang,  pemilihan bupati 48 pasang, dan pemilihan walikota sebanyak 18 pasang.  Sementara itu, pasangan calon perseorangan yang tidak memenuhi syarat  sebanyak 27 pasang, yaitu pemilihan gubernur 1 pasang, bupati 17 pasang  dan pemilihan walikota 9 pasang.

Sejak Keputusan Mahkamah  Konstitusi merevisi beberapa pasal dalam UU No.32 Tahun 2004 antara lain  Pasal 59 (3) yang diubah menjadi "membuka kesempatan bagi bakal calon  perseorangan yang memenuhi syarat  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58  melalui mekanisme yang demokratis  dan transparan", pemilihan kepala  daerah  (pilkada) untuk mengusung calon kepala daerah tidak hanya  dicalonkan  dari partai politik tapi juga dicalonkan melalui  perseorangan (non-partai). Keputusan tersebut memberikan  harapan baru  bagi munculnya calon-calon kepala daerah/wakil kepala  daerah yang  relatif lebih terbuka bagi siapa pun yang memiliki minat  untuk  mencalonkan diri.

Calon Independen. (@pinterpolitik)
Calon Independen. (@pinterpolitik)
Menurut J.B. Kristiadi, hadirnya calon  independen tersebut dapat mendobrak partitokrasi (demokrasi yang  dikangkangi partai  politik) agar aspirasi dari bawah mendapatkan tempat  dalam proses  politik; memungkinkan calon dari masyarakat yang dianggap  publik  lebih berkualitas daripada sekadar figur yang diusung  segelintir elite  partai politik; dan mendorong demokratisasi internal  partai politik. 

Namun, sejumlah tantangan dihadapi calon  independen. Untuk dapat disahkan sebagai calon saja, pengumpulan KTP  yang dipersyaratkan menjadi sebuah tantangan. Ketika menjadi calon, para  calon independen ini menghadapi keterbatasan tidak memiliki mesin  politik yang efektif.

Sejak  jalur independen dibuka, total ada 22 pemenang pilkada dari jalur  independen. Tahun lalu, hanya terpilih 3 pasangan dalam pilkada serentak  tersebut dari total 68 pasangan independen yang maju. Satu  karakteristik yang dominan dari para pemenang jalur independen adalah,  wilayah pemenangannya memiliki DPT 500 ribuan ke bawah. Wilayah dengan  pemilih yang besar masih menjadi medan pertarungan yang sulit bgai calon  independen.

Tantangan Setelah Memenangkan Pilkada

Setelah  memenangkan pilkada, tantangan bagi kepala daerah dari jalur independen  tidak berakhir. Sebagai tokoh tanpa kendaraan politik, anggota dewan  menjadi tantangan selanjutnya. Persoalan  lebih serius yang harus  dicermati ini adalah stabilitas politik lokal.  Struktur kekuasaan ini  rentan terhadap konflik yang berkepanjangan antara  eksekutif dan  parlemen. Ada risiko kemacetan pemerintah daerah karena tanpa dukungan   partai politik di parlemen. Setidaknya, tantangan itu ada pada area  penganggaran dan penggolan peraturan.

Dalam siklus penganggaran,  ada satu tahap pembahasan anggaran yang melibatkan eksekutif (Pemda)  dengan legistlatif (DPRD). Persetujuan anggaran ini membutuhkan dukungan  parlemen yang kuat untuk menyukseskan program-program pemerintah. Bila  oembahasan ini berlarut-larut, maka akan punya efek beruntun pada  program pemerintah daerah.

Persoalan  keterlambatan  penetapan   APBD berdampak terhadap  siklus pengelolaan  keuangan  daerah. APBD  yang lambat ditetapkan menyebabnya terganggunya penyerapan belanja APBD  sehingga pelayanan publik yang seharusnya dapat segera mendorong  perekonomian daerah awal tahun ikut terganggu. Terganggunya APBD ini  juga mengakibatkan dana  kas daerah yang menganggur. Ketiga, APBD yang  terlambat disahkan itu menyebabkan menumpuknya aktivitas   kegiatan/pembangunan di  daerah  pada  akhir  tahun  anggaran.  Hal ini   tidak  efektif untuk  mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. 

Namun,  sejatinya, penolakan dewan terhadap anggaran tersebut tidak boleh  sembarangan. Tata cara pembahasan rancangan peraturan daerah tentang  APBD dilakukan  sesuai dengan peraturan tata tertib DPRD dengan mengacu  pada peraturan  perundang-undangan. Demikian pula, untuk penetapan  agenda pembahasan  rancangan peraturan daerah tentang APBD untuk  mendapatkan persetujuan  bersama disesuaikan dengan tata tertib DPRD  masing-masing daerah.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun