Beberapa bulan lalu, saya hadir di Nangkring Kompasiana. Di sebelah saya, duduk seorang perempuan berkerudung yang tampak matang. Sambil menunggu acara, ia menyapa saya dan bercerita perjalanannya dari Bandung. Saya memanggil beliau Bu Maria.Kami mengobrol santai. Ia pun mengajukan pertanyaan, "Sejak kapan saya bergabung di Kompasiana?" Saya jawab, 18 Juni 2010, dan beliau tidak menyangka karena katanya saya baru kelihatan akhir-akhir ini.
Saya ingat betul, saya mendaftar ketika baru pulang dari Jogja, menemui teman-teman seperti Irwan Bajang, Dea Anugrah, Sungging Raga, dan Bernard Batubara. Saya tidur di kosan Rozi Kembara, dan diberi banyak referensi film bagus. Ponsel saya matikan. Saya berangkat 13 Juni dan pulang 17 Juni. Padahal 14 Juni itu adalah tanggal kelahiran pacar saya saat itu (sudah putus, mantan). Dia marah dan menangis setelah saya sampai di Bintaro karena saya melupakannya.Â
Pulang dari Jogja itu, saya membeli tiket kereta ekonomi, naik di Lempuyangan, tapi saya ketinggalan kereta. Lalu saya buru-buru ke Stasiun Tugu dan hendak naik kereta yang duduk. Tapi, loket sudah tutup. Kereta datang satu jam lagi. Dalam keadaan bingung harus bagaimana pulang ke Jakarta, seorang bapak tua mendatangi saya, menawarkan tiket. Dia calo. Tapi, dia bilang harganya sama saja dengan harga resmi sehingga saya tertarik membelinya. Saya diantar masuk ke dalam kereta. Duduk nyaman. Ketika saya minta tiketnya, dia bilang nanti petugas akan memberi. Duduk santai saja.Â
Kereta berangkat. Tiket tak pernah ada di tangan saya. Saya deg-degan tiap kali ada petugas datang mengecek tiket. Tapi, saya dilewatkan karena dibilang titipan bapak Anu. Aman. Seharusnya saya turun di Senen, tapi bablas sampai Jakarta Kota. Ketika hendak keluar, penjaga bersiap sedia. Say harus menunjukkan tiket keluar, tapi saya tak punya. Saya digiring ke kantor dan DIPALAK! Saya diancam akan dilaporkan ke polisi karena status penumpang ilegal... atau memberi ia uang sebanyak dua kali lipat harga normal. Sungguh, saya tak bisa lupakan itu.
Sesampai di kos, keesokan paginya saya berselancar, dan menemukan Kompasiana. Saya mendaftar karena awalnya pengen curhat soal ini, tapi memalukan rasanya. Saya pun menulis cerpen (mem-posting ulang cerpen saya yang dimuat di koran lebih tepatnya). Dan beberapa bulan setelah itu, saya menulis puisi pedih. Alasannya, saya resmi putus. Begini sajaknya:
di palembang, nda. hanya di palembang,
burung-burung tidak lagi kepingin terbang, udara
dingin menusuk tulang, dan syalmu menantiaku datang
rindu ini begitu akut, mengalahkan gagak-gagak
di tiang listrik yang khusyuk
menanti kematiandi palembang, nda, jembatan ampera masih tegak
membelah sungai musi yang keruh;
cinta ini selalu penuh, meski terkadang angkuh
tetapi sungguh
tak ada kata-kata dari kesunyian
yang lebih indah dari kenangan perjalananku
denganmu
Setelah itu, saya kerap menulis puisi dan cerpen. Kadang-kadang juga menulis soal sepakbola karena kecintaan saya pada Sriwijaya FC dan Timnas Indonesia. Sesekali menulis hal-hal yang biasa dan umum dibicarakan. Sesekali pula ikut lomba menulis di Kompasiana, tetapi tak pernah menang. Saya tak peduli pada dinamika Kompasianer, toh saya menulis hanya untuk membunuh waktu, dan 2011-2014 September, saya berada di Sumbawa. Saya menulis untuk mengatasi kejenuhan saya sebagai front officer pencairan dana.
Hingga kemudian saya menjadi pemenang cadangan pada sebuah lomba menulis. Hadiahnya workshop di Ubud, menginap di hotel mewah di sana. Namun, tiket PP harus beli sendiri. Saya kemudian ditunjuk menggantikan salah seorang pemenang yang berhalangan hadir. Tentu saja saya mengiyakan. Saat itu saya sedang melanjutkan kuliah di D4 STAN. Saya beli tiket, bikin surat izin nggak masuk kuliah. Siap berangkat.Â