Masih kuingat jelas di benak pikiranku, perjalanan terakhir bersama teman-teman di Sumbawa sebelum aku berangkat ke Jakarta. Farhan Syadli, dkk. mengantarku melihat air terjun Ai Beling. Setelah puas berfoto, ia memberiku tantangan, bagaimana jika melanjutkan perjalanan ke Ai Putih melewati hutan Kuang Amo?
Selama ini aku hanya mendengar kemahsyuran air terjun satu itu. Rasanya rugi jika melewatkan kesempatan menyaksikan batu-batu besar dengan air yang mengalir di bebatuan seperti susu. Namun, bukan hal mudah menuju ke sana. Tantangannya adalah harus berjalan kaki melewati medan yang tak mudah kurang lebih 2 jam.
Hal itu terjadi karena bakda pulang dari Moyo, aku berlatih lari setiap pagi!
Ya, aku melakukan itu. Awalnya aku hanya berlari semampuku, lalu berjalan memutari rute yang kupilih. Lama-kelamaan jarak lari dan jarak jalan kakiku pun berimbang. Dari lari lambat, aku pun berganti lari cepat. Selama sekitar sebulan aku berlari, berat badanku turun 7 kg! Lemak-lemak jahatku pergi.
Ada banyak hal yang kudapatkan selama berlari itu. Lari punya banyak manfaat bagi tubuh, seperti memperlancar aliran darah, meningkatkan kesehatan dan kebugaran tubuh. Lari juga dapat memicu pengeluaran hormon dan enzim yang merangsang jantung dan otot bekerja lebih baik. Sama seperti yang diungkapkan Haruki Murakami dalam What I Talk About When I Talk About Running, ada inspirasi tak terkira ketika berlari.
Aku bukan seorang pelari marathon seperti Murakami. Baginya, berlari adalah sebuah tantangan, dan dia selalu mengikuti lomba marathon demi lomba marathon untuk menjawab penasaran. Cara menulisnya pun ibarat pelari marathon. Pelan, tapi bernapas panjang. Tak habis-habis.
Aku masih seorang pelari jarak pendek, sehingga aku menjadi penulis cerita pendek dan puisi. Rute tempatku berjalan dan berlari itu istimewa. Aku melewati kampung Arab, berada di atas bukit dan melihat matahari terbit di arah Tanjung Menangis. Lalu setelah itu aku akan menuruni jalan Bungur dengan bunga-bunga bungur yang bermekaran. Sesekali di rute itu, aku akan naik sepeda.
Namun, setelah berkuliah lagi di Bintaro, lulus, dan ditempatkan di Jakarta, aku tak lagi seorang pelari. Dalam pada itu, inspirasiku mandeg. Aku tak banyak menulis lagi. Rasanya hidupku kaku dan jari-jariku kesulitan menuangkan imajinasi. Aku mati sebagai seorang sastrawan.
Pikiran tentang hidup seperti apa yang kuinginkan datang menjelang siklus Saturnus. Siklus Saturnus adalah sebuah siklus yang mengacu pada periode revolusi Saturnus terhadap matahari. Siklus 30 tahun. Lebih tepatnya 29,46 tahun. Pertanyaan paling penting adalah ke mana Pringadi yang dulu tulisannya disegani?
Ditambah lagi, setiap kali kulihat tubuhku di cermin, aku merasa aku seperti alam semesta. Mengembang. Aku curiga ada yang diam-diam meniup tubuhku setiap saat aku tertidur.
Seminggu yang lalu kondisi fisikku drop. Setelah terkena radang tenggorokan, istirahat sehari, aku memaksakan diri masuk kantor. Kereta dari Bogor ke Jakarta Kota padat sepadat-padatnya. Ada gangguan perjalanan. Waktu tempuh yang normalnya 1 jam, menjadi lebih dari 2 kali lipatnya. Turun dari kereta tubuhku sangat lemas, dan menjelang siang, tubuhku tak berdaya. Napasku sesak. Aku ingin ambruk.
Aku pun harus bertemu dengan dokter-dokter cantik di IGD RSPAD Senen. Aku dipasangkan nebu, dan ketika difoto, aku sangat mirip dengan foto Setnov di ranjang yang pernah viral. Ya, ada tikus di dadaku. Tikus itu menyuruhku berbaring sejenak dan memikirkan segalanya... segalanya.
Gaya hidupku memang sudah tidak sehat terutama dalam satu tahun terakhir. Aku diberondong pekerjaan dan kekurangan waktu untuk mengasihani diri sendiri.
Sesampainya di rumah, aku memandangi sepatu lariku di rak. Sudah berdebu. Kubersihkan. Dan aku berjanji akan rutin mengenakannya lagi. Aku ingin lari. Aku ingin jadi penulis lagi. Aku ingin terbebas dari kelemahan fisik yang menderaku ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H