Pada 1972, Club of Rome menerbitkan Limits to Growthyang tesis dasarnya menyatakan jika borosnya pola konsumsi dunia dan cepatnya pertambahan penduduk sama seperti semula, dalam waktu seabad bumi tidak akan sanggup lagi memenuhi kebutuhan manusia. Dalam konteks bahan bakar minyak, sejak 1993, produksi minyak bumi Indonesia mengalami kemerosotan. Selain itu, target produksi minyak yang diasumsikan pun kerap tak tercapai. Sementara itu, di sisi lain, tingkat konsumsi bahan bakar justru semakin meningkat.
Untuk mengatasi kondisi tersebut, Pertamina melakukan beberapa langkah. Salah satu langkah yang cukup menonjol adalah Pertamina menggenjot produksi hulu di lapangan mancanegara. Pertamina menargetkan produksi minyak 700 ribu barel per hari di ladang minyak di luar negeri. Pada kuartal I 2017, kontribusi lapangan migas mancanegara telah sebanyak 99,9 ribu barel per hari dan 281,9 juta kaki kubik gas per hari. Lapangan migas yang telah berproduksi antara lain di Afrika yakni Aljazair, Gabon dan Tanzania, Malaysia, dan Irak. Sementara itu, ada juga yang sedang tahap eksplorasi yakni di Kanada, Kolombia, Namibia, Perancis, Italia, dan Myanmar.
Di sisi lain, Pertamina juga telah mengubah diri dari semula perusahaan minyak dan gas bumi, menjadi perusahaan energi. Langkah ini mengindikasikan sebuah kesadaran dari Pertamina, bahwa energi (yang tak terbatas pada minyak dan gas bumi) adalah masa depan. Minyak dan gas bumi suatu saat bisa habis, sehingga perlu dicari solusi/alternatif energi yang berkelanjutan.
 Namun, pengembangan energi yang berkelanjutan ini bukan tanpa tantangan. Andrew Beebe menulis "The Death of Alternative Energy". Dia menyoroti, konsen pemerintah kebanyakan pada 2005 dalam mendefinisikan "alternatif" masih bicara tentang bagaimana menemukan metode baru dalam mengekstrak bahan bakar fosil di masa depan.
Tantangan lainnya adalah tentang biaya yang harus dikeluarkan untuk meriset dan mengembangkan energi berkelanjutan. Apalagi dengan kondisi harga minyak dunia yang rendah membuat keinginan untuk berganti ke energi lain yang biayanya lebih mahal menjadi suatu keengganan.
Kuncinya adalah kepemimpinan. Kepemimpinan yang baik dapat melihat masa depan yang lebih jernih, tidak hanya terfokus pada kepentingan dan kondisi saat ini semata. Dalam konteks negara, kepemimpinan itu pun dibutuhkan untuk mencapai tujuan kedaulatan. Dan untuk itu, seorang pemimpin harus punya sense of crisis,termasuk dalam hal energi.
Ketika pengurangan subsidi BBM dilakukan akhir tahun 2014 lalu, pokok masalah yang terpenting adalah hal tersebut menjadi titik awal mengubah arah fiskal kita yang selama ini berada di sisi demand ke sisi supply/penawaran. Pertumbuhan ekonomi yang terlalu dominan pada faktor konsumsi dianggap tidak sehat. Dengan pengurangan (dan kemudian pencabutan) subsidi BBM, sebenarnya pemerintah hendak membatasi konsumsi, dan mengalihkannya pada sisi produksi, tercermin dari meningkatnya belanja subsidi non-energi.
Dalam konteks pertumbuhan ekonomi, energi juga harusnya diletakkan dalam sisi supply. Selama ini, cara memandang energi didasarkan pada pandangan konsumsi. Ada kebutuhan energi sebanyak X, maka pemerintah akan menyediakan energi sebanyak X. Sebaliknya, bila dipandang dari sisi supply,pemerintah akan merencanakan produksi energi sebanyak Y, dan dengan itu pemerintah dapat pula mengendalikan konsumsi masyarakat. Lebih jauh, dapat dikatakan energi akan menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi.
Pertamina sebagai perusahaan energi nasional tentu telah menyadari hal tersebut dan selangkah demi selangkah akan menyelesaikan permasalahan yang ada di bidang energi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H