Lega rasanya, membaca permintaan maaf Said Agil Siradj atas perkataannya yang mengatakan radikalisme disebarkan melalui Masjid Salman. Viralnya perkataan Said Agil tersebut sempat menjadi bahan olokan dari teman-teman alumnus ITB, karena radikalisme seperti apa yang disebarkan Masjid Salman? Ada banyak pengalaman kami yang lucu-lucu dan berkesan selama berkuliah di ITB, dan Masjid Salman adalah masjid yang paling ramah buat mahasiswa seperti kami, terutama bila bulan Ramadhan tiba.
Sedikit yang tahu, sebelum menempuh pendidikan di STAN, saya sempat berkuliah di Matematika ITB selama 2 tahun. Namun, karena bego, saya pun kena DO. Tapi, bukan soal DO itu yang mau saya ceritakan sih.Â
Saya bukan anak Masjid. Tapi, saya cukup sering berinteraksi dengan teman-teman di Masjid Salman. Masjid Salman menjadi tempat berkumpul, terutama bila harus mengerjakan tugas kuliah (PR). Apalagi bila menjelang masa ujian, koridor luar Masjid akan penuh terisi dengan mahasiswa yang belajar bersama-sama.
Persentuhan pertama dengan Masjid Salman terjadi pas awal masuk kuliah. Mahasiswa diharuskan mengikuti placment test Bahasa Inggris, untuk menentukan kelas perkuliahan nantinya. Saya bersama sahabat saya yang sama-sama satu SMA dari Palembang punya jadwal yang berbeda. Dia jurusan Teknik Industri. Saya sudah selesai tes sebelum salat Jumat. Dia baru tes selesai salat Jumat. Kami janjian untuk membicarakan pencarian kos-kosan. Namun, bakda salat, dia menemui saya dengan wajah sedih. Sepatunya hilang. Padahal sepatunya baru, iyalah baru, kan baru mau masuk kuliah.
Radikalisme paling fakta dari Masjid Salman adalah jangan berani-berani tidak menitip sepatu atau sandalmu yang bagus di tempat penitipan, karena maling sandal/sepatu di Masjid Salman benar-benar pintar.Â
Masjid Salman sendiri adalah salah satu tempat ikonik di ITB. Pada tahun 60-an, mahasiswa ITB kalau mau salat Jumat harus pergi ke Cihampelas. Jauh. Pendirian masjid di sekitar kampus saat itu awalnya ditolak oleh rektor. Namun, Prof T.M. Soelaiman, Achmad Sadali, Imaduddin Abdulrachim, Mahmud Junus, dkk menggalang dukungan pendirian masjid. Dukungan pun datang bukan hanya dari muslim, dosen Planologi, Drs. Woworontu dan dosen Belanda, kajur Arsitektur--Prof. Roemond pun turut memberi dukungan. Akhirnya, dukungan ini pun berlanjut ke restu Presiden saat itu, Ir. Soekarno, sehingga berdirilah Masjid Salman ITB.
Hal terkenal lain dari Masjid ini adalah arsitekturnya. Ahmad Noeman yang merancangnya. Masjid tersebut dibangun berbeda dengan masjid lainnya yang tanpa kubah dan justru beratap rata. Ahmad tidak membuat tiang pancang di dalam masjid dengan tujuan agar shaf shalat berjamaah tidak terpotong. Filosofinya dalam sekali. Ia menjadi masjid pertama dengan arsitektur modern, meninggalkan banyak idiom klasik dari masjid, yang bermakna pembaharu, seorang muslim harus dapat menjadi pembaharu. Dan bentuknya dibuat begitu lega, tanpa sekat, sejuk, agar siapa saja bisa masuk, bersatu sebagai umat.
Saya tidak tahu bagaimana kemudian bisa ada pernyataan radikalisme dan Masjid Salman mengingat betapa welcome Masjid ini dengan umat. Ceramah-ceramah Salat Jumat-nya pun nggak pernah ada yang nyeleneh, dan malah sangat progresif yang sering kali mencari korelasi, hikmah, antara ilmu pengetahuan dan agama. Salman tidak pernah melihat latar belakangmu apa, tujuanmu apa, kalau mau belajar agama ya monggo, dan ada kelas-kelas seperti kelas tahsin buat belajar baca Quran, kelas tahfidz buat menghapal Quran, kelas bahasa Arab, kelas-kelas lain yang disusun dengan seolah kurikulum.Â
Keluarga Mahasiswa Islam (Gamais) ITB alias rohisnya ITB memang juga "berkumpul" di sekitar Salman dan peruncingan ideologi terjadi ketika pemilihan presiden Keluarga Mahasiswa ITB yang kerap disebut pertarungan Utara-Selatan. Kubu Sunken Court dengan poster Che Guavara vs Kubu Salman. Dulu sih begitu pada tahun 2005. Setiap pemilihan, seru sekali. Tapi mengingat anak-anak ITB sekarang sudah banyak yang kaya-kaya dan gaul abis, sudah nggak ngerti bagaimana pergulatan macam itu terjadi.
Melihat fakta-fakta itu, selama pengalamanku di sana, sangat salah kalau ada yang bilang penyeberan radikalisme melalui Masjid Salman.
Namun, yang menjadi catatan adalah karena siapa pun bisa berada di area Masjid, kita harus waspada. Ada satu kelompok yang pernah saya jumpai baik di ITB maupun di STAN. Mereka bergerak secara sembunyi-sembunyi dan menghampiri mahasiswa. Nama kelompok itu adalah NII (Negara islam Indonesia).Â