“Aku ini perempuan, Kakak. Aku tak pernah bermain ayam jago.” Teruna salah paham. Teruna tahu, waktu membuatnya seperti lelaki. Jalannya tidak gemulai seperti perempuan pada umumnya, bahkan cenderung mengangkang. Beberapa lelaki menganggap cara jalannya berarti klaim bahwa Teruna sudah tak perawan. “Pasti Mustafa sudah mencicipinya,” atau, “Dia pasti perempuan bispak di sekolahnya.” Komentar-komentar seperti itu sudah sering Teruna dapatkan.
“Jadi berita bahwa kamu suka cokelat itu omong kosong?” Kakak di depannya bertanya itu sambil mengeluarkan sesuatu dari kantongnya. Sebatang cokelat. Ratu Silver.
Teruna menerimanya ragu. Baru kali ini ia bicara dengan lelaki-si petugas front office-tambun-beruban-bermata merah itu, ada kenyamanan di sana. Teruna tahu laki-laki itu baru ditinggal istrinya. Kebanyakan pegawai perbendaharaan menjadi jomblo lokal karena tidak dapat membawa istrinya sementara lelaki itu kebalikannya. Hidup sungguh aneh, pikir Teruna. Hari itu ia takut menjadi dewasa.
~
Orang-orang Sumbawa, dari Sumbawa Timur sampai Sumbawa Barat tak bosan-bosannya datang silih berganti dari pagi-pagi sekali di sebelah KPPN ini. Ialah kantor Imigrasi, tempat membuat paspor yang menjadi tujuan. Sebelum masuk kantor, Teruna kerap membantu Ama berjualan nasi bungkus dan air kelapa di seberang jalan. Ama menganggap Teruna sebagai anaknya. Meski beristri dua, Ama tak punya anak.
Kemarin Teruna mendengarkan pembicaraan Kak Muji dan lelaki itu yang baru ia tahu namanya—Onang Sadino. Ia mengamini soal kegagalan otonomi daerah bisa diparameteri dengan tidak tersedianya lapangan pekerjaan yang memadai di daerahnya sendiri. Lebih lanjut, Onang Sadino itu mengkritik formasi PNS di Sumbawa Besar yang banyak diisi orang-orang Lombok. “Begini sih sama saja dengan Banyuasin terhadap Palembang. Orang-orang Lombok yang bekerja di Sumbawa menerima uang dari pemerintah daerah Sumbawa, menyimpannya, dan dibawa pulang setidaknya satu bulan sekali ke Lombok, itu sama saja menihilkan fungsi konsumsi. Pertumbuhan ekonomi macet!” Kalimat-kalimat itu diucapkan berapi-api. Teruna tidak tahu apa-apa tentang ekonomi, tapi dari bicaranya, Teruna tahu itu meyakinkan.
Pasalnya pula, Sumbawa lambat maju. Jauh dibandingkan dengan Lombok Timur. Masyarakat menyalahkan ketidakadilan pada distribusi anggaran dan kepedulian Gubernur terhadap wilayah-wilayah di Sumbawa. Makanya, baru-baru ini makin santer isu pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa pada tahun 2015. “Ah, itu pasti cuma akal-akalan Fahri Hamzah yang mau jadi gubernur PPS nantinya…” Onang Sadino berkata sinis. Tapi mungkin saja itu benar, Fahri Hamzah yang asal Alas itu rajin pulang dan mengoar-ngoarkan pembentukan PPS. Teruna tahu karena ia selalu ada setiap ada keramaian di Sumbawa untuk berjualan.
Kak Onang Sadino itu tampak di seberang jalan. Ia hendak menyeberang. Teruna tahu, kalau tidak membeli nasi kuning di kampung Arab, Kak Onang akan makan di tempat Ama. Ia akan memilih nasi bungkus berlambang T yang berisi telur lalu meminta segelas air kelapa, airnya saja. Teruna menatap lelaki itu, yang sedang menunduk memainkan tabletnya. Pasti sedang mengobrol dengan istrinya. Teruna berpikir, andai saja Kak Onang belum menikah, ia akan mau bersama lelaki itu, meski tambun-beruban-bermata merah sekalipun.
“Sampai kapan kamu magang?” Pertanyaan itu membuyarkan lamunan Teruna. Kak Onang tahu-tahu sudah menatap Teruna tajam. “Kamu, apa cita-citamu? Tidak seperti mereka kan?” Pandangan kak Onang menuju orang-orang di kantor imigrasi.