Mohon tunggu...
Pringadi Abdi Surya
Pringadi Abdi Surya Mohon Tunggu... Penulis - Pejalan kreatif

Lahir di Palembang. Menulis puisi, cerpen, dan novel. Instagram @pringadisurya. Catatan pribadi http://catatanpringadi.com Instagramnya @pringadisurya dan Twitter @pringadi_as

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Hari yang Sempurna untuk Tidak Berpikir

26 Agustus 2016   16:57 Diperbarui: 28 Agustus 2016   00:03 572
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku menjadi pegawai pertama yang datang ke kantor. Kunyalakan komputer, dan kucari berita tentang Arsenal. Aku masih belum memahami arogansi Wenger dalam bursa transfer. Hari ini hari terakhir bursa, dan tak ada tanda-tanda pemain baru datang ke Emirates. Wenger barangkali punya prinsip yang sama denganku. Terlalu banyak perubahan akan melahirkan banuyak ketidakpastian. Tidak pernah ada hitung-hitungan pasti seorang pemain berharga 1 T akan memberi performa senilai 1 T pula. Falcao dipinjam ke Manchester United dan gagal. Torres pindah ke Chelsea dan bertahun-tahun tidak produktif.

Selaras dengan itu, aku juga tidak tahu apakah kualitas hidupku akan meningkat jika aku sekarang berada di Jakarta ketimbang di Sumbawa. Di Jakarta, barangkali aku akan dituntut lebih banyak berpikir sehingga aku tidak bahagia.

Hingga pukul sembilan, tidak ada tamu yang datang ke kantor.

Tamu pertama datang satu menit setelahnya dan ia salah masuk kantor. Ia mengira kantor kami adalah kantor pajak.

Di depanku, layar komputer masih menyala dan bebagai informasi tersedia di sana. Dunia yang berubah menghasilkan perbedaan. Bila dulu akses informasi dan pengetahuan begitu terbatas, sampai-sampai zaman kolonialisme Hindia-Belanda, hanya orang-orang tertentu yang bisa sekolah di H.B.S, sekarang informasi dan pengetahuan berseliweran di mana saja. Hanya saja, sekarang, kita tak pernah tahu mana yang benar dan berharga.

Perubahan menghasilkan banyak kebohongan. Dan kebohongan itu banyak dipercaya.

Hari ini seharusnya menjadi hari yang sempurna untuk tidak berpikir. Rencana-rencanaku berantakan karena temanku itu. Aku pandangi ponsel. Dan beberapa detik kemudian ponsel itu bergetar. Satu pesan masuk.

“Hei, apa benar kalau kita mati nanti pikiran kita juga akan ikut mati?”

Temanku itu mengaku seorang alien dan telah hidup 400 tahun lamanya. Dia ingin tahu rasanya mati.

Aku sendiri tidak mau mati di dalam cerita. Kematian tidak seharusnya berada di dalam sebuah cerita karena toh, kematian itu pasti akan terjadi. Tinggal kita menunggu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun