Mohon tunggu...
Pringadi Abdi Surya
Pringadi Abdi Surya Mohon Tunggu... Penulis - Pejalan kreatif

Lahir di Palembang. Menulis puisi, cerpen, dan novel. Instagram @pringadisurya. Catatan pribadi http://catatanpringadi.com Instagramnya @pringadisurya dan Twitter @pringadi_as

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Tak Ada Salahnya Menjadi Sastrawan Sosialita

30 Mei 2016   13:19 Diperbarui: 30 Mei 2016   20:32 1830
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

The Dead of The Author. Sapardi Djoko Damono pun menulis buku Pengarang Telah Mati. Sengaja digunakan kata pengarang bukan penulis--yang digunakan Anindhita S. Thayf dalam opininya di Republika beberapa waktu lalu. Dalam hal ini, saya kurang paham alasan Anin menggunakan kata penulis itu.

Sebelum merujuk ke judul, saya pun mencoba menerka kembali maksud dari Roland Barthes. Eseinya pada tahun 1967 itu mengatakan bahwa pembaca harus memisahkan karya seseorang dari diri penciptanya agar tidak terjebak pada interpretasi tertentu. Pada dasarnya, setiap karya bersifat terbuka. Pembaca bisa memasukinya dari mana saja. Barthes tak menginginkan bila pemaknaan terhadap suatu karya menjadi hanya apa yang dimaksudkan oleh pengarangnya. Barthes tak mau makna dibatasi karena tak menutup kemungkinan pembaca justru dapat memaknai lebih.

Barthes menggunakan kata author dalam relasi katanya terhadap authority, yang berarti wewenang atau kekuasaan. The Dead of The Author berarti kematian pengarang adalah pengarang tak memiliki kuasa lagi terhadap karyanya. Haknya sudah berpindah ke pembaca yang memutuskan interpretasi seperti apa yang lahir dari karya tersebut.

Esei ini kemudian melahirkan pemikiran dan pendekatan terhadap kritik sastra. Dan bukan pula tanpa balasan karena Sean Burke kemudian membuat tulisan berjudul The Death and Return of Author. Terlepas dari bila kita ingin mengulik jauh lebih dalam apa yang dimaksud dengan Roland Barthes, saya pribadi merasa sangat heran ketika esai tersebut kemudiandikaitkan dengan sastrawan hanya boleh berada di ruang sepi, di dalam kamarnya saja, dan menjustifikasi festival-festival sastra yang ada (terlebih bila dilabeli dengan internasional) sebagai kegiatan para sastrawan sosialita.

Toh, Tak Ada Salahnya Menjadi Sastrawan Sosialita

Sosialita berasal dari kata sosial dan elite. Dikembalikan kepada makna aslinya, sosialita berarti kelompok kecil orang-orang terpandang yang suka memperhatikan kepentingan umum, berkenaan dengan masyarakat. Kita kesampingkan dulu makna "kelompok kecil orang-orang terpandang" tersebut.

Tiga festival sastra bertaraf internasional yang ada di Indonesia saat ini bisa kita sebut Ubud Writers Readers Festival (UWRF), Makassar International Writers Festival (MIWF) dan ASEAN Literary Festival (ALF) atau yang lain. Bisa kita lihat pula tiap festival punya ciri dan keunikannya masing-masing.

Tuduhan Anin bahwa ajang-ajang ini justru lebih ke ajang kumpul dan pamer agaknya perlu dibantah. Sabagai apa-apalah, saya setuju jika selama ini banyak sekali acara kumpul-kumpul sastrawan tidak menghasilkan outcome/manfaat. Datang, seminar, baca karya, haha hihi, selesai, pulang. Hal ini terjadi karena ketidakmampuan kita dalam merencanakan sesuatu. Dan ini terjadi dalam segala bidang. Tidak hanya dilakukan oleh sastrawan, juga birokrat pada umumnya. Negara merencanakan suatu kegiatan hanya berhenti pada output. Pertanggungjawaban berhenti sampai di situ. Ada input, ada kegiatan, ada hasil yang dicapai. Selesai.

Namun, karena Anin terlalu lama berada di dalam kamarnya, Anin tidak tahu bahwa dunia berubah, negara berubah, dan penghuni dunia sastra juga berubah. Negara kini mengenal yang namanya logic model dalam penganggaran, ada juga spending reviu, dan penyerapan anggaran tak lagi satu-satunya parameter kinerja. Bahkan bukan hanya pada level outcome, negara juga tengah mengkaji dan merumuskan kinerja hingga level impact/dampak.

Logic Model. Sumber: BPPK.
Logic Model. Sumber: BPPK.
Dalam merancang kegiatan berdasarkan logic model ini tampak jelas di MIWF. Saya memahami kenapa Ika Natassa kemudian begitu reaktif dengan tulisan Anin karena Ika sudah merasakan sendiri bagaimana suasana MIWF. Bukannya bijak, Anin malah menjawab ia bukan penganut empirisme, jadi tidak perlu datang untuk tahu.

Tidak hanya karya yang bersifat terbuka, MIWF pun dirancang demikian adanya. Semua kegiatan gratis. Siapa saja boleh ikut. Aan Mansyur, dkk dibantu dengan ratusan volunter menyelenggarakan kegiatan ini. Kreasi mereka terlihat jelas di sana. Tiap tahun, anak muda yang melamar jadi volunteer juga bertambah sedemikian pesat. Kalau di Jakarta, kita saksikan dominan muka tua di acara sastra, di Makassar tidak. Fort Rotterdam selalu dibanjiri anak muda.

Makassar juga menjadi salah satu kota besar dari sisi penjualan buku. Kalau Anin tidak percaya, minta ke penerbit laporan penjualan buku. Juga berlahiran  kegiatan-kegiatan satelit di luar itu. Di sini juga berlahiran tokoh penggiat literasi. Contoh yang terbaru Kak Ridhwan dengan Perahu Pustaka yang membawa buku-buku ke pulau-pulau kecil di sekitar Sulawesi Selatan.

Dan bila ingin secara pasti mengukur outcome, Anin bisa menggunakan analisis cost dan benefit dan metode evaluasi yang lain ketimbang bacot atau omong kosong yang mendiskreditkan sesuatu tanpa memahami sesuatu.

Saya jadi ingat perkataan dosen saya. Kita tidak mengerti tentang hipotetico deductive. Kita bahkan kerap menganggap segala sesuatu sebagai masalah, padahal baru gejala. Kesalahan itu terutama terjadi karena kita kerap keliru membandingkan kondisi dengan teori.

Di sisi lain saya jadi berpikir, apa pentingnya label sastrawan, penyair, dan semacamnya? Kenapa kerap kita berebut klaim? Saya kemudian bertemu dengan Pak Didik, ketua Kanusa di sebuah warung kopi. Penyair yang juga seorang Vice President di sebuah bank ini berkata, "Yang terpenting saat ini adalah tujuan, Mas. Kita ini tujuannya apa? Tulus apa ndak ingin membangun budaya literasi? Kalau iya, kita rangkul semua, kita kerja kolaboratif untuk menggapai tujuan itu. "

Hal terpenting memang memandangi angka 60--peringkat literasi Indonesia dari 61 negara itu. Dengan cara apa saja, mau dianggap hura-hura, bla-bla, itu jauh lebih berarti daripada tidak melakukan apa-apa.

(2016)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun