I.
Tuhan datang ke Wapres Bulungan. Ia duduk di pojok kanan. Beliau diam saja, "Tidak ada puisi, tidak ada pembicaraan!" tegasnya.
Bulan berikutnya, Tuhan datang lagi. Kali ini saya tampil baca puisi. Saya grogi, bayangkan, pertama kalinya saya naik panggung, Tuhan hadir jadi penonton. Saya memegang pelantang, "Terima kasih kepada Om Yo yang sudah memberi kesempatan. Terima kasih juga kepada Tuhan yang sudah datang jauh-jauh jadi penonton."
II.
Saya merindukan Tuhan. Sudah berbulan-bulan Tuhan tak datang. Apa karena tersinggung, saya tidak membacakan puisi untuk Tuhan, malah untuk perempuan?
"Om, tahu kabar Tuhan?" tanya saya ke Om Yo.
"Tuhan yang mana nih?"
"Tuhan yang datang pas saya baca puisi itu lho."
"O, mungkin dia nggak tahan asap rokok. Besok tak pasang AC deh, biar jadi bebas rokok."
III.
Saya takut Tuhan akan menghukum saya karena sudah membuatNya cemburu. Karena itulah, saya tak datang ke Reboan bulan ini.
“Pring, kamu kenapa tidak datang? Ada Sutardji lho sekarang.” Om Yo menelepon.[caption caption="Dari Rumpies The Club"][/caption]
"Ngapain takut sama Tuhan?"
"Ya kan dia Mahakuasa?"
"Ya kalaupun takut, kamu nggak bisa sembunyi dariNya. Tuhan ada dimana-mana."
Saya melongok ke kolong tempat tidur. Tidak ada apa-apa di sana.
"Om, Tuhan tidak ada tuh di kolong tempat tidur."
*karya ini diikutsertakan dalam rangka memeriahkan ulang tahun perdana Rumpies The Club
Terinspirasi dari puisi Sutardji Caldzoum Bahri berjudul "WALAU"
WALAU
walau penyair besar
takkan sampai sebatas allah
dulu pernah kuminta tuhan
dalam diri
sekarang tak
kalau mati
mungkin matiku bagai batu tamat bagai pasir tamat
jiwa membumbung dalam baris sajak
tujuh puncak membilang bilang
nyeri hari mengucap ucap
di butir pasir kutulis rindu rindu
walau huruf habislah sudah
alifbataku belum sebatas allah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H