Jika penerbit hanya mendapatkan 34% dari harga setelah dipotong pajak, dengan harga pokok produksi 25%, maka penerbit hanya mendapat 9% atau Rp9.000,- per buku. Jika oplah minimal 3000 buku, maka modal yang dibutuhkan adalah 75 juta. Maka untuk mencapai BEP, penerbit harus dapat menjual minimal 2250 buku atau 75% dari oplah. Dengan kondisi sekarang, rata-rata buku per judul terjual 250 buku/bulan, berarti aliran kas untuk BEP adalah 9 bulan. Tak heran, jika banyak penerbit gulung tikar.
Dengan enteng kemudian, penerbit diberi solusi oleh mereka untuk menaikkan harga buku 20% agar mendapatkan pendapatan seperti semula. Namun kenaikan harga 20% akan memberatkan konsumen buku.
4% yang diminta pihak toko, usut diusut adalah “kompensasi” PPN yang dibebankan ke penerbit. Atau, pihak toko tidak mau dibebani dengan membayar PPN. Mereka menaikkan tarifnya akibat PPN. Sementara kalau harga dinaikkan, keuntungan yang didapatkan oleh toko akan semakin besar. Inilah benar-benar sifat kapitalis!
Solusinya?
Pertama, pengenaan PPN atas buku menjadi awal kekisruhan ini. Di tengah upaya menggalakkan dunia literasi, kita malah dihadapkan dengan kondisi harga buku yang semakin tinggi. Saya tidak paham kebijakan pemerintah jika memang ingin mencerdaskan kehidupan bangsa, harusnya memperhatikan industri buku dari hulu ke hilir. Untuk itu, PPN atas buku harus dihapuskan.
Kedua, pihak yang egois adalah pihak toko buku. Hal itu terjadi karena posisi tawar mereka yang kuat dengan memiliki banyak toko buku di Indonesia. Dalam hal ini, pemerintah dapat melakukan pengelolaan pada gedung-gedung pemerintah, dewan kesenian daerah, perpustakaan daerah, untuk menjadi toko buku dengan pembagian pendapatan yang lebih rendah dari toko buku lain. Di satu sisi, hal ini dapat menjadi PNBP, di satu sisi ini akan membantu persebaran buku.
Pada akhirnya, pemerintah memang bertanggung jawab untuk meningkatkan minat baca rakyat Indonesia sehingga tidak melulu rakyat Indonesia mendapat peringkat rendah dalam kategori minat baca. Bukankah buku adalah jendela dunia?
Wallahualam.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI