Mohon tunggu...
Pringadi Abdi Surya
Pringadi Abdi Surya Mohon Tunggu... Penulis - Pejalan kreatif

Lahir di Palembang. Menulis puisi, cerpen, dan novel. Instagram @pringadisurya. Catatan pribadi http://catatanpringadi.com Instagramnya @pringadisurya dan Twitter @pringadi_as

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama

4 Musim Cinta: Gagal Menggugat Pajak Lewat Sebuah Novel

5 April 2015   20:08 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:30 430
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketika Timor Timur di ambang disintegrasi, kerusahan pecah. Banyak kantor pemerintahan tutup. Semua pegawai negeri pusat pulang ke daerahnya masing-masing. Namun, satu kantor harus bertahan. Kantor itu dikenal dengan nama Kantor Kas Negara. Sampai seorang pegawainya yang memberanikan diri dan harus datang ke kantor dicegat oleh Fretilin, ditanyai, ditodong senjata, hendak kemana dan siapa. Ia menjawab ia pegawai Kantor Kas Negara. Seketika itu juga ia dilepaskan. Kantor Kas Negara adalah kantor terakhir yang bertahan dan menjadi identitas negara saat itu.

Begitu pun ketika terjadi tsunami di Aceh. Kantor yang pertama kali harus dipulihkan adalah KPPN Khusus Aceh. Kantor Kas Negara (sekarang bernama KPPN) adalah jantung sekaligus darahnya negara. Keberadaannya adalah keniscayaan. Ia hadir bukan karena ada potensi pendapatan yang besar di daerah itu, melainkan karena ia harus hadir untuk menghidupi perekonomian dengan salah satunya mencairkan dana APBN.

Sekelumit cerita itu menjadi pendahuluan atas betapa setiap kita adalah penting. Kenek yang menagih uang angkutan penting, sopir yang mengemudi angkutan juga penting, tak kalah pentingnya pihak yang membeli angkutan tersebut.

Empat orang pegawai Perbendaharaan yang memiliki pengalaman di Manado, Ruteng, Kendari dan Sumbawa pun ingin berkata, harapan sekecil apapun adalah penting. Bahkan para setan pun suka bersemayam dalam hal yang kecil dan detil. Jika dilupakan, hal kecil itu bisa merusak hidup.

Itulah yang kemudian mendasari sebuah novel ini. 4 Musim Cinta mengejewantahkan harapan dan keyakinan, serta realitas yang harus mereka hadapi. Mulai dari idealisme hingga hubungan persahabatan dan percintaan menjadi riskan dalam situasi-situasi yang rumit.

Di dalam novel ini pun sebenarnya, jika ditelaah lebih lanjut, banyak gugatan atas kebijakan pemerintah. Mulai dari penyerapan anggaran yang tidak proporsional, quality of spending, sampai ke pemberian tunjangan ke instansi perpajakan yang banyak dipertanyakan oleh bahkan sesama pegawai Kementerian Keuangan.

“Kita kurang alasan apa lagi? Pajak buat kebijakan. Sedangkan yang mengadministrasikan setiap rupiah pajak yang masuk ke kas negara, siapa? Kita. Yang membuat laporan penerimaan setiap harinya siapa? Kita. Yang dimintai laporan penerimaan pajak oleh Pak Menteri siapa? Kita. Pajak menyumbang sekian persen dari sisi pendapatan negara. Selebihnya kita.”

Mata Sera tampak berapi-api. Tidak ada senyum di wajahnya yang membuat ia terlihat ramah. Aku mengikik pelan mendengar betapa gigih Sera mengungkapkan pendapatnya. Dan ternyata Sera belum selesai dengan kalimatnya. “Yang mengurusi pencairan 1800 T APBN kita siapa? Kita. Yang buat LKPP siapa? Kita.”

Sera mengempaskan pensil yang sedari tadi ia mainkan di antara jemarinya, ke atas meja lalu ia menyilangkan kedua tangan di depan dada. Wajahnya bersungut-sungut. Aku melirik Carlo yang masih bingung memilih dan memilah berkas yang akan diberikan padaku. Ia tampak tidak peduli dengan perdebatan yang terjadi dengan ketiga orang itu.

Setelah memperlihatkan sikap bertahan seperti itu, kedua laki-laki yang ada di samping Sera tidak berbicara dalam waktu yang cukup lama. Barangkali, baru kali ini mereka mengetahui kenyataan seperti ini. Agung, laki-laki kurus berkacamata itu, sempat melihat Sera dengan wajah yang terlihat berpikir. Bisa jadi ia sedang mencari-cari pembelaan atas pendapatnya yang bertentangan dengan kata-kata Sera. Sementara Somad, laki-laki bongsor berpotongan rambut ala tentara, duduk tegak menghadap ke depan. Ia melihatku lama.

“Apa mungkin kita hanya melihat dari luarnya saja. Maksudku, kita boleh saja merasa bahwa kita telah bekerja keras, tapi siapa yang tahu seberapa keras ‘saudara’ kita bekerja sehingga dihargai sedemikian tinggi?” Somad mengangkat bahu. Agung mengangguk setuju.

“Ya. Mereka memang bekerja keras. Keras sekali.” Sera menjawab sinis.

“Jangankan di tingkat kementerian. Bahkan antara kamu dan Agung, bisa jadi ada ketidakadilan jumlah penghasilan. Kalau saya tanya, siapa yang lebih berdedikasi terhadap instansi, apa kalian bisa jawab?”

Carlo nimbrung dalam percakapan mereka. Kali ini aku tersenyum terang-terangan. Kali ini Carlo menjawab dengan tepat. Setidaknya jawaban retoris macam itu diperlukan untuk meredakan gejolak pemberontakan yang bisa saja muncul di dada tiga orang itu.

“Kita ini pelayan masyarakat. Lebih tinggi lagi, kita ini bekerja untuk yang di atas. Nabung pahala istilahnya. Pada akhirnya, apa yang kita dapat pasti sesuai dengan apa yang kita berikan. Seberapa banyak yang kita berikan? Hati kita sendiri yang tahu jawabannya.”

Rasanya ingin tertawa mendengar lanjutan pernyataan Carlo. Apa dia lupa pada larangan cuti yang ditujukan kepadaku waktu itu. Lalu sekarang dia berbicara tentang pahala? Sangat bertentangan dengan sikapnya sehari-hari.

“Tapi, Pak...” Sera tampak tidak terima.

“Sssttt... Perdebatan macam ini tidak akan memberi dampak apa-apa. Semakin kalian menyesali kondisi tempat kalian berada, semakin kalian merasakan sakit hati. Benar, nggak, Gayatri?” Dari mejanya, Carlo melihatku tajam. Aku mengangguk wagu, tak tahu harus menjawab apa.

Sayang, karena pertimbangan editor, dialog tersebut di atas dihapus di dalam cerita ini. Katanya terlalu teknis.

Pada akhirnya, semoga saja jika ke toko buku, dan melihat bibir merah merekah di sampulnya, teman-teman segera mengambil dan membawanya ke kasir. Atau bisa pesan langsung dengan mengirimkan nama dan alamat ke 085239949448 atau via SMS/WA. Semoga.

14282389842037555620
14282389842037555620


Paperback332 pages
Published March 13th 2015 by Exchange

original title 4 Musim Cinta

ISBN13 9786027202429

edition language Indonesian

url http://kaurama.com/exchange/
harga Rp59.500,-

Apa kau percaya jika satu hati hanya diciptakan untuk satu cinta? Barangkali beruntung orang-orang yang bisa jatuh cinta beberapa kali dalam hidupnya. Tetapi aku yakin, lebih beruntung mereka yang sanggup menghabiskan hidupnya dengan satu orang yang dicintai dan mencintainya.

4 Musim Cinta adalah sebuah novel yang bertutur tentang lika-liku kehidupan cinta empat birokrat muda: satu wanita, tiga pria. Gayatri, wanita Bali yang merasa berbeda dengan wanita-wanita pada umumnya. Gafur, pria Makassar yang menjalin kasih dengan seorang barista asal Sunda yang enggan menikah. Pring, pria Palembang yang nikah muda tetapi harus terpisah jauh dari istrinya karena tugas negara. Arga, pria Jawa yang selalu gagal menjalin hubungan dengan wanita. Mereka bertemu dan saling berbagi rahasia. Tak disangka, setiap rahasia kemudian menjadi benih-benih rindu yang terlarang. Persahabatan, cinta, dan kesetiaan pun dipertaruhkan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun