Mohon tunggu...
Princess E Diary
Princess E Diary Mohon Tunggu... wiraswasta -

~ A Dreamer Princess ~

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Sekali Lagi

5 April 2016   15:14 Diperbarui: 5 April 2016   15:28 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aduh.... Sekali lagi..... Teriakku putus asa.

Sebelum kegelapan menelanku dengan paksa, kulirik dengan cepat sekelilingku.
Ranjang besi putih, wallpaper motif bunga kecil, nuansa shabby chick terasa sekali, dan kosong.

Thank God, kali ini sepertinya tidak terlalu buruk.

***
 Alunan suara saxophone membangunkanku. Tanpa sadar aku bersenandung kecil mengikuti alunan suara saxophone.

selamanya kita akan bersama
melewati segalanya
yang dapat pisahkan kita berdua

“Kak. Hari ini tidak kerja?” Suara saxophone mendadak berhenti, berganti dengan seorang cowok yang sedang memandangiku sambil memegang saxophone.

Masih kebingungan aku terdiam sambil memandanginya. Sial selalu seperti ini saat pertama!

“Kak? Waduh, sepertinya masih hang over ya. Aku buatkan green tea latte kesukaan kakak ya.” Kata cowok itu lagi.

“Iya.” Jawabku pelan.

“Ini Kak. Green tea latte kesukaan kakak. Cepat diminum, mumpung masih hangat.”

Dengan patuh aku menerima mug berisi green tea latte, sambil meniupnya pelan, dan melirik cowok itu. God, please help me a little bit, huh?

“Aku udah tahu, kakak pasti kecapekan pagi ini. Tapi, semalam sukses banget tuh kak. Tema Go Green di catwalk, match banget ama yang lagi trend sekarang, belum lagi pertunjukan teatrikal di tengah-tengah peragaan, para pemain yang tiba-tiba keluar dari bangku penonton membuat penonton serasa menyatu dan menjadi bagian dari konsep peragaan tadi malam. TOP deh, kakakku emang paling bisa kalau bikin acara.” Dengan semangat penuh cowok itu bercerita.

Oh, sepertinya aku ini seorang event organizer atau team creative ya? Ah... Sebentar lagi aku juga tahu.

Sambil senyum tipis aku menghabiskan green tea latte, sambil terus mendengarkan cowok itu bercerita.

Seperempat jam telah berlalu, cowok itu yang ternyata adalah adikku bernama David, akhirnya pergi meninggalkanku sendiri di kamar. Segera aku bangkit dari tempat tidur. Aku buka lemari pakaian, kutarik sebuah blouse turtle neck warna putih tulang dan celana jeans biru muda, sambil menghela nafas aku tutup kembali lemari dan pelan-pelan membuka pintu kamar.

Saat diluar kamar, hal pertama yang aku cari adalah kamar mandi dan segera mandi, mengguyur rambut dan badanku dengan air dingin, sepertinya suatu hal yang harus dilakukan. Karena saat air itu turun dari shower dan mengalir menelusuri tiap helai rambut dan menyentuh wajah dan tubuh, serasa seperti adegan dimana seorang dokter membersihkan dan mensterilkan diri sebelum memasuki ruang operasi. Semua masalah yang mungkin terjadi di hidupnya harus “dibersihkan” dulu, supaya dokter bisa dengan fokus menangani pasien yang menunggu sentuhan tangan ajaibnya untuk melakukan operasi.

Bukankah hidup memang seperti itu? Saat beban hidup terasa berat, mungkin hal terbaik kalau beban itu ditaruh dulu, kerjakan hal lain yang membuatmu lebih gembira, saat kegembiraan itu sudah merasuki dirimu, beban yang tadi ditaruh pun jadi terasa lebih ringan saat kembali ditanggung.

Ah.. bicara apa aku ini, yang pasti tubuhku memang terasa lebih segar setelah mandi.

Sambil membetulkan posisi rambutku yang sedang dibalut handuk, aku melihat sekelilingku. Hm... ruang tengah yang standart, ada sofa bentuk U, menghadap TV led flat screen, bantal dengan tulisan “home sweet home” di tengah sofa memberikan sedikit kesan hangat, ya setidaknya buatku, karena aku percaya tak ada hotel bintang lima pun yang bisa menandingi kenyamanan dan kehangatan sebuah rumah bagiku.

Kepalaku berputar melihat lagi ke arah lain, dan tak butuh waktu lama untuk melihat sesuatu yang langsung menarik perhatianku. Aku berjalan mendekat ke arahnya. Sebuah lukisan di sudut depan kamarku. Berada di samping lemari koleksi buku yang berjejer rapi sesuai tinggi bukunya. Di depan lukisan itu ada sebuah sofa mungil bentuk mahkota yang sepertinya nyaman sekali untuk duduk diatasnya. Di sampingnya ada standing lamp minimalis melengkung kearah sofa mahkota tadi. Sudut baca yang menarik. Tapi tak ada yang lebih menarik dari lukisan itu. Lukisan seorang wanita dengan posisi duduk di lantai, kedua tangan memegang lutut, wajah menoleh ke samping sedikit menunduk, dan diselimuti oleh sebuah gelembung besar, melingkar sempurna seperti sebuah snow globe. Wajah itu terlihat sedih, seperti dia terpaksa kembali masuk ke dalam gelembung.

Tapi... hey... kenapa wajahnya mirip aku?Aku mendekat, melihat lebih jelas lagi.Hm... benar-benar mirip, seperti ada hubungan darah antara kami. Siapa dia?

“Sekali lagi kamu terpaku disini. Tiap kali melihat lukisan ini, ekspresi kamu selalu kompleks, ada takjub, ada sedih, bahkan ada rasa geli terpancar dari sorotan mata kamu. Dasar kamu Put.” Sambil menyentil keningku seorang pria dengan penampilan casual dan jauh lebih tua dariku menyapaku.

Aku tersenyum balik sambil mengusap keningku.Siapa lagi ini Tuhan?

“Wah ada apa dengan ponakan tersayangku? Ada om kesayangannya datang kok nggak disambut. Diambilin minum kek. Atau ada camilan apa, keluarin dong. Om laper.” Dia kembali berbicara.

“Ah... Iya... Sorry Om. Wait.” Dengan lega aku ke belakang mengambil minuman. Orang ini om aku ternyata. Orangnya suka ngomong. Namanya Ary, lengkapnya Aryanto. Seorang arsitek yang lebih suka menangani proyek rumah pribadi, kepuasan saat dua pribadi bisa berkompromi karena rancangan rumah yang dibuatnya itu, menurutnya hebat.

“Oh ya Put. Jadi ke Bali? Kapan? Om kebetulan lagi senggang, bisa temenin kamu kesana.” Tanyanya sambil meletakkan gelas minumnya yang sudah kosong di meja.

“Bali? Kenapa kesana om?” Aku bertanya dengan cepat.

“Lho, katanya kamu mau ketemu dengan pelukis lukisan Gongju Geopum? Setelah sekian lama kamu cari, akhirnya ketemu juga kalau pelukis itu dari Bali. Bener kan? Kamu sendiri yang cerita ke om lho, gimana sih?” Tanyanya dengan heran.

“Oh iya Om. Aku lupa.” Jawabku pelan. Huh, siapa itu pelukis Gongju Geopum?

“Gimana sih Put. Jadi kapan ke Bali?” Om masih terus bertanya penasaran.

“Nanti Putri kabari ya om.” Cepat aku menjawabnya.

“Nah gitu dong. Pokoknya om ikut ya. Sekalian mau cari inspirasi disana. Ada calon klien om yang request dibuatkan rancangan rumah model rumah Bali soalnya, tapi mau tetap ada sentuhan modern.”

Suara dering ponsel membuat om Ary berjalan ke depan rumah, mencari signal yang lebih bagus untuk menerima panggilan itu.

Aku tenggelam dalam lamunanku sendiri, siapa itu pelukis Gongju Geopum? Kenapa aku sampai ingin ke Bali untuk bertemu dengannya? Ah... hari pertama selalu begini. Terlalu banyak yang harus aku ketahui tentang diri aku.

“Put, om pergi dulu ya. Biasa urusan kerjaan. Kabarin lho kalau sudah pasti berangkat ke Bali kapan. Oke Put?” Omku melambai sambil berjalan menuju mobilnya.

“Oke Om. Beres.” Jawabku.

***

Akhirnya dia pulang juga. Saatnya sudah tiba. Putri harus tahu tentang buku itu. Hanya buku itu yang bisa membantunya saat ini. Cepatlah menemukannya, Putri.

gongju geopum bag.1~

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun