Dear akrostik,
Kepada Prof. Sapardi Djoko Damono:
Sebibit kecil yang kautanam di tenunan kata dengan teramat ringkas.
Aksaramu tersimpul kokoh seperti tali mengikat rantai kalimat itu yang sulitnya diulurkan antar pikiranku.
Pecahan makna tersirat di selaput nalurimu penuh ragam citra yang tak terdefinisikan.
Amunisi menjelma kalbu putih dilekatkan oleh gaungan langit kepada sarangan kumbang yang sedang berkembang biak.
Raungan di waktu pagi telah bermuka pilu yang menyemai serapan panas matahari; sedemikian ia selalu menyinari kekuatan bagi literasi dunia.
Dedaunan kering sudah menggugurkan warna kelabu tanpa rintihan hujan. Kian punah di bulan Juli yang tandus dimakan rayap terhadap kayu tanpa hilang keresahan awan.
Irisan menyayat kebisuan di titik kemahiran penyair yang berdenyut lepas hingga seluruh raganya menembus kisi jendela; dia setangguh ulat ke kepompong, lalu berubah kupu-kupu indah pada alam baka.
Duhai pujangga, namamu 'kan terkenang abadi di jalur piramida larik penuh syahdu itu.
Jasadmu terpupus oleh kefanaan hidup yang sekali berwujud sementara. Tatkala inilah pupuk diksiku yang tak sebanding apa-apa.