Pada tengah malam, suara hatiku tak berdetak lagi;
tatkala itu jiwaku makin menggebu sampai tak henti,
naluriah mengantarkan ke perlabuhan yang tersepi,
mengapa gelisahku tak terkasat mata, tiada tak pergi?
tengah malamku, pada dahan ranting sedang berdeham;
bayang dalam mimpiku tak bersalaman dengan muram,
adakala sebaiknya, biarlah burung rajawali bermukim,
'tuk mengepakkan sepoian angin terus tertanam.
Di rumput pagi menyapa dini hari,
mataku tak lelah menatap di depan layar sambil jemari;
mematahkan pikiran yang berlarut, memaksaku mengetik aksara ini,
detak-detik jam terus berbunyi,
tak sampailah, menutup kehilangan akalku tak bertuli.
Samar-samar jantungku, tak berdebar cepat;
hanya perlahan namun belaian manja diri tak tersirat,
merunduk gambaran ke tepian danau yang mengekang di bawah lutut,
dan apa, lalu bagaimana sejatinya mendekap bayang yang tersurat?
Tengah malamnya, aku bercengkeram;
sebujur sangkar yang bersegi-empat menerkam,
sedang bertanya, di manakah letak luasnya tak terhingga itu?
Ah berhentilah di sana, karena kini tibalah di perbatasan sungaimu...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H