Mohon tunggu...
Adhi Prakosa
Adhi Prakosa Mohon Tunggu... -

Marketing Management

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Takdir Ajaib Perjumpaan Steve Jobs dengan Ayah Kandungnya

8 Juli 2014   22:28 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:58 1617
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banyak sekali catatan, ilham, inspirasi setelah membaca buku autobiografi Steve Jobs yang ditulis oleh Walter Isaacson. Buku tersebut memaparkan dengan jelas jatuh bangunnya sang pendiri Apple ini dengan rinci. Suka dan duka, masa jaya dan keterpurukan memang mewarnai kisah hidup Steve Jobs. Hingga layaklah dia sebagai seseorang yang pernah menjabat sebagai CEO salah satu perusahaan terpopuler di dunia ini menjadi semacam idola bagi fanboy Apple. Terutama semangatnya dalam merintis dan membesarkan Apple, sikap tidak pernah puas yang positif, dan tentu saja perhatiannya pada detail yang sangat luar biasa (Steve Jobs pernah berselisih hebat dengan Paul Rand, desainer grafis terkenal pencipta logo IBM hanya gara-gara tanda titik pada kartu namanya), salah satu yang menarik adalah sisi melankolis muram Steve Jobs yang selalu merasa sebagai anak yang tidak diinginkan oleh kedua orangtua kandungnya.

[caption id="" align="aligncenter" width="500" caption="Source Pic: http://mrbesilly.typepad.com/.a/6a00d8341bfa6953ef017d3bcfeb3d970c-500wi"][/caption]

Steve Jobs dibesarkan oleh orangtua angkat yang menyayanginya dengan sepenuh hati, dia diadopsi semenjak bayi. Kedua orangtua kandungnya memang tidak menginginkannya. Meskipun begitu, ibu kandung Steve Jobs pada saat mengurus perjanjian hak adopsi dengan orangtua angkat Steve Jobs, memberikan satu syarat penting yaitu kelak si bayi jika telah beranjak remaja harus disekolahkan ke Perguruan Tinggi. Hal yang sebenarnya cukup memberatkan kedua orangtua angkat ini, mereka hanya berasal dari kelas pekerja biasa dan bukan orang kaya, tetapi dengan yakin mereka menyanggupinya dan akan berkomitmen untuk kelak mengumpulkan uang kuliah bagi Steve Jobs. Dan begitulah kisahnya, Steve Jobs kecil acapkali mendapatkan ejekan dari temannya bahwa dia anak angkat, dan memang orangtua angkatnya sejak dini tidak pernah menutupi fakta ini. Kadang dia sampai menangis, dan tak jemu juga ayah angkatnya dengan kasih sayang membesarkan hati anak kecilnya ini. Inilah yang menjadi dasar rasa sakit yang terpendam bagi seorang Steve Jobs, perasaan merasa terbuang dan ditelantarkan oleh orangtua kandungnya meskipun tak kurang-kurangnya kasih sayang orangtua angkat Steve Jobs bagi dirinya, membuat Steve Jobs kelak dikenal sebagai seorang pemimpin perusahaan yang acapkali bertindak apa adanya dan sering berucap kasar.

Pelarian Steve Jobs pada penggunaan narkoba di masa remajanya memang tak lepas dari gaya hidup hippies yang dianutnya. Penggunaan narkoba jenis LSD pada masa itu memang hal yang wajar di kalangan anak muda yang sedang bersemangat mencari jati diri. Salah satu judul lagu The Beatles yaitu Lucy in the Sky with Diamond (judul lagu ini bisa disingkat menjadi LSD) konon terinspirasi dari narkoba jenis LSD. Entah benar atau tidaknya rumor ini, di masa itu banyak orang yang mempercayainya. Layaknya generasi pada masa itu, Steve Jobs remaja juga terinspirasi sekali dengan ajaran spiritual India, dia bahkan pernah berkelana ke India mencari guru spiritual. Mempraktekkan puasa yang ketat, menjadi fruitarian (hanya makan buah-buahan saja) salah satu dari banyak hal yang dilakukan Steve Jobs bahkan sampai dia tua sebagai bagian dari kepercayaannya akan mistik dunia Timur.

Kemajuan Apple Computer yang dirintisnya bersama sahabat masa remaja, Steve Wozniak melejitkan Steve Jobs sebagai milyarder muda dunia. Di Amerika, siapa tak kenal Steve Jobs pada saat itu, kesuksesan komputer Apple II memang fenomenal. Steve Jobs berada di puncak impian semua orang. Uang sudah bukan lagi menjadi masalah bagi dirinya. Di saat semua barang bisa dia beli, tentu timbul rasa penasaran dalam dirinya mengenai asal usulnya, tentang siapa sebenarnya orangtua kandungnya. Menyewa detektif tentu saja bukan perkara yang sulit, dan dimulailah petualangan pencarian orangtua kandung Steve Jobs oleh seorang detektif swasta.

Demi menjaga perasaan orangtua angkatnya, Steve Jobs tidak memberitahukan hal ini pada orangtua angkatnya tersebut. Semua berjalan dengan sangat rahasia mengingat posisinya sebagai public figure setingkat selebritis. Kerja detektif ini ternyata memuaskan, dia mampu menelusuri dokter yang membantu persalinan ibu kandung Steve Jobs. Saat Steve Jobs bertemu dokter ini, malang bahwa semua berkas mengenai asal usul Steve Jobs pada saat kelahirannya sudah dilalap api pada satu kebakaran di kantor dokter tersebut. Mendengar kenyataan ini, Steve Jobs cukup kecewa.

Selang berapa lama, muncul surat kepada Steve Jobs, isinya adalah surat-surat kelahiran bayi Steve Jobs beserta nama lengkap ibu kandungnya. Ya, ibu kandungnya bernama Joanne. Usut punya usut, cerita kebakaran yang diceritakan sang dokter hanya bohong belaka, semua berkas kelahiran Steve Jobs masih utuh tersimpan rapi di brankas dokter yang membantu persalinan, dan ternyata menjelang wafatnya sang dokter tersebut, dia memberikan surat wasiat, bahwa surat-surat berkas kelahiran bayi Steve Jobs yang dia simpan rapat tersebut harus diserahkan kepada Steve Jobs.

Langkah berikutnya mudah, Steve Jobs dapat menemui ibu kandungnya tanpa kesulitan, perjumpaan ini terasa spesial, akan tetapi Steve Jobs cukup kaget mendapat kabar bahwa tenryata dia memiliki adik kandung. Ibu kandung Steve Jobs adalah Joanne Simpson. Ayahnya adalah Abdulfattah Jandali, mahasiswa asal Syria. Jobs kecil diserahkan kepada pasangan Paul dan Clara Jobs untuk diadopsi. Penyebabnya, orangtua Joanne tidak setuju anaknya menikah dengan seorang Arab. Walau akhirnya, Joanne akhirnya menikah juga dengan Jandali dan mendapat momongan lagi yang diberi nama Mona. Namun, Joanne dan Jandali bercerai kala pernikahan berusia tiga tahun. Joanne lantas menikah lagi dengan pria lain. Singakt cerita, Steve Jobs pun bersiap untuk mendatangi Mona, dan bertemu untuk pertama kalinya dengan adik kandungnya tersebut.

Adik Steve Jobs, Mona, berprofesi sebagai seorang novelis. Mengetahui hal ini, Steve Jobs sangat bersemangat, bahkan dia berteriak kegirangan di kantor Apple kala itu, dan memberitahu semua karyawan bahwa dia akan bertemu adiknya, dan dengan bangga menceritakan pada semua karyawannya bahwa adiknya adalah seorang novelis. Begitupun juga dengan Mona, saat diberitahu bahwa kakak kandungnya akan menemuinya, Mona tidak diberitahu siapa kakak kandungnya tersebut. Tentu saja ini menjadi bahan candaan teman-teman Mona saat itu, di satu kesempatan saat Mona sedang berkumpul dengan teman-temannya, mereka bermain tebak-tebakan siapa sebenarnya kakak kandung Mona, Mereka menebak dengan menyebutkan beberapa nama selebritis, bahkan keadaan berubah menjadi seru saat teman-teman Mona saling berceletuk secara asal menyebutkan tokoh dan selebritis terkenal. Ada salah satu temannya yang menebak bahwa kakak Mona adalah Steve Jobs, mengingat kepopuleran dan betapa wajah Steve Jobs selalu masuk di televisi serta menjadi sampul depan majalah di kala itu. Sayangnya saat dikonfirmasi pada masa kini, diantara teman-temannya yang hadir saat itu, tidak ada yang ingat siapa si teman yang menebak dengan benar tebakan tersebut.

Steve dan Mona bertemu, dan tentu saja Mona kaget. Tidak menyangka kakak kandungnya adalah salah satu orang terkaya di Amerika. Mereka cepat menjadi akrab, layaknya dua saudara yang lama tidak bertemu. Kini misi Steve Jobs tinggal tersisa satu, yaitu mencari dimana ayah kandungnya kini berada. Ayah yang sudah menelantarkan dirinya, ibu dan adik kandungnya.

Berdasarkan rangkuman informasi yang dikumpulkan dengan sumber daya Steve Jobs yang tak terbatas, keberadaan si Ayah akhirnya terendus. Mona, yang diberi tugas untuk menemui ayah kandungnya ini. Satu hal yang diwanti-wanti oleh Steve Jobs pada Mona adalah agar jangan sampai si Ayah tahu bahwa anak laki-laki yang dia telantarkan pada waktu bayi di masa lalu itu adalah seorang Steve Jobs. Perjumpaan diatur dan segera Mona berangkat menemui Abdulfattah Jandali. Mereka bertemu di sebuah restoran, tempat dimana Abdulfattah Jandali bekerja. Mona berbicara empat mata, dan melepaskan rindu pada Ayahnya.

Dari obrolan panjang, Abdulfattah Jandali mengungkapkan penyesalannya kenapa dia baru bisa bertemu dengan Mona saat sang Ayah sudah pindah dan bekerja di restoran ini, restoran ini kurang bagus, dia berkata bahwa dulu Ayah bekerja di sebuah restoran yang sangat indah dan mewah di pinggir pantai. Coba tebak, siapa pengunjung restoran mewah di pinggir pantai tersebut? Para selebritis, para petinggi dan pimpinan-pimpinan perusahaan besar di Silicon Valley, dan apakah kau tahu bahwa Ayah pernah bertemu dan bersalaman langsung dengan Steve Jobs? Abdulfattah Jandali berbicara dengan nada bangga, kemudian keluar segala pujian setinggi langit dari mulut Abdulfattah Jandali tentang sosok Steve Jobs yang muda, kaya, tampan dan sukses memimpin salah satu perusahaan teknologi terbesar di dunia. Tak lupa pula dia bercerita, Steve Jobs selalu memberi uang tip yang lumayan banyak padaku, pungkas Abdulfattah Jandali. Mona tercekat, mendadak dia tidak tahu apa yang mesti dia katakan. Tergoda untuk berterus terang ataukah hanya diam. Mona memutuskan untuk tetap diam dan bertingkah wajar. Segera Mona menyambar telepon selepas dari pertemuannya dengan Abdulfattah Jandali. Steve Jobs mendengarkan penjelasan Mona dengan tenang. Ya, aku ingat pria tua dari Syria itu, kata Steve Jobs. Aku ingat pernah bersalaman dengannya, beberapa kali aku berkunjung ke restoran tersebut dan bertemu pria itu.

Akhirnya, setelah perjuangan panjang, penantian selama 27 tahun akhirnya terungkap dan terbuka siapa orangtua kandungnya. Pada akhirnya, Steve Jobs terkadang mengunjungi ibu kandungnya, hubungannya dengan Mona dan ibu kandungnya makin dekat, akan tetapi Jobs sama sekali tidak pernah mau bertemu dengan Abdulfattah Jandali, dan berusaha keras agar Abdulfattah Jandali tidak pernah tahu bahwa anak laki-lakinya adalah Steve Jobs.

Sampai meninggal, Steve Jobs tidak pernah bertemu lagi dengan Abdulfattah Jandali. Dia memang tidak ingin. Perjumpaan mereka agaknya hanyalah perjumpaan di sebuah restoran mewah tempat Abdulfattah Jandali bekerja, bukan layaknya perjumpaan dramatis antara Ayah dan Anak yang telah terpisah puluhan tahun, tetapi hanya interaksi pengunjung restoran yang seorang milyuner muda dari Apple Computer dengan seorang pria tua pegawai restoran. Agaknya, Steve Jobs sudah cukup puas dengan perjumpaan tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun