Mohon tunggu...
Muslimin Beta
Muslimin Beta Mohon Tunggu... wiraswasta -

Seorang pemulung ilmu yang tinggal di SWIS (Sekitar Wilayah Sudiang),Makassar. Penggemar Sepakbola, blogger, peneliti, aktivis NGO, punya bisnis jaringan dan seorang citizen reporter yang berafiliasi pada organisasi Aliansi Penulis-Pewarta Warga Indonesia (APPWI), www.appwi.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Memposisikan Tindak Pidana Perdagangan Orang Sebagai Kejahatan Luar Biasa

27 September 2013   19:19 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:18 2755
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1380286815649847775

Judul : Perdagangan Orang Sebagai Extra Ordinary Crime

Penulis : Poppy Andi Lolo

Penerbit : Leutikabooks dan CEPSIS Makassar

Tahun Terbit : 2013

ISBN : 978-602-9420-41-8

[caption id="attachment_291192" align="alignleft" width="300" caption="Dr Poppy Andi Lolo, SH, MH"][/caption] Buku ini diadaptasi dari disertasi Poppy Andi Lolo pada program doktor  Ilmu Hukum di Universitas Hasanuddin Makassar. Sedikitnya 30 persen korban perdagangan manusia di dunia adalah orang Indonesia. Mereka diperdagangkan sebagai pekerja seks dengan rentang usia anak-anak 15 tahun hingga 25 tahun. Jika dilihat dari segi lokasi pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), maka terdapat beberapa daerah yang menjadi kantong-kantong Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang di Indonesia, seperti, Surabaya, Medan, Jakarta, Bali, Kalimantan Barat (Kalbar).

Menurut alumnus SMA Katolik Rajawali Makassar ini, kantong yang paling  rawan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) setelah Surabaya adalah Entikong di Kalbar, Batam. Dearah ini dijadikan sebagai daerah transit paling rawan, kemudian Nunukan di Kaltim. Selain itu, daerah tersebut memiliki daerah perbatasan yang merupakan daerah transit paling rawan. Di Entikong, setiap hari mencapai 100 paspor yang diloloskan untuk ke Malaysia dan Singapura. Padahal, setiap paspor harus memiliki kartu tanda penduduk, sedangkan penduduk di Nunukan tidak banyak.

Beberapa fakta kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di Indonesia tersebut telah cukup menggambarkan betapa Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) merupakan suatu kejahatan yang sudah terjadi hampir di semua daerah dan di tempat-tempat atau kota-kota besar dan pelosok wilayah Indonesia. Jika data tersebut merupakan data yang tercatat tahun 2006, maka saat ini dapat diprediksikan wilayah Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) semakin meluas dan terorganisir secara rapi serta merata dengan berbagai modus operandinya.

Dari beberapa kasus perdagangan perempuan yang telah diproses di pengadilan berdasarkan laporan Kepolisian Republik Indonesia (Keppres RI) Tahun 2000 tercatat 1.683 kasus  dan diajukan ke pengadilan sebanyak 1.094 kasus dari delapan kota di Indonesia yang cenderung semakin meningkat. Perbedaan atau disparitas sanksi (penjara dan denda) dalam teori hukum pidana (kriminologi) dapat menjadi faktor kriminogen yang perlu diteliti dalam rangka penegakan hukum pemberantasan tindak pidana perdagangan orang.

Beberapa modus operandi yang digunakan para pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), antara lain, merekrut calon korban melalui TKW/TKI baik dalam maupun luar negeri melalui lembaga-lembaga pengarah tenaga kerja di seluruh Indonesia. Mereka yang terekrut biasanya ditempatkan pada sebuah pemondokan pada suatu tempat dan umumnya ditempat tertentu (tidak ada komunikasi) secara pisik dengan pihak lain kecuali atas izin perekrut. Fakta tersebut telah menunjukkan bahwa Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) sudah menjadi kejahatan yang telah memenuhi kategori kejahatan melawan kemanusiaan (crime against humanity) atau dapat disebut sebagai extra ordinary crime.

Selanjutnya menurut dosen Kopertis Wilayah IX Sulawesi ini, kejahatan pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang tampaknya sudah dapat dikategorikan sebagai kejahatan kemanusiaan atau tergolong sebagai extra ordinary crime dan transnational crime.  Dinyatakan demikian oleh karena kejahatan tersebut sudah bersifat meluas dan sistemik yang dari kondisi realitas di Indonesia telah menjadi perbuatan yang membahayakan tatanan kehidupan dan mengancam sendi-sendi kehidupan. Asumsi ini dapat dikaitkan dengan isi Pasal 9 DUHAM dan substansi Pasal 7 Statuta Roma. Mengacu pada kedua ketentuan hukum Internasional tersebut dapat diketahui bahwa pelaku Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) merupakan kejahatan melawan kemanusiaan (crime against humanity) atau disebut juga extra ordinary crime dan termasuk sebagai transnational crime.

Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) sebagai extra ordinary crime, teori yang relevan adalah teori kejahatan kemanusiaan (Crime Against Humanity), maka Grand Theory yang dikemukakan oleh Hugo De Groot dan John Locke yang menyatakan bahwa “semua individu dikarunia oleh alam, hak yang inheren dengan atas kehidupan dan kebebasan dan harta yang merupakan milik mereka dan tidak dapat dipindahkan atau dicabut oleh negara”. Teori ini sangat relevan digunakan mengingat Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) merupakan bagian yang tidak dilepaskan dari Hak Asasi Manusia (HAM). Kegiatan perdagangan orang (trafficking) merupakan perbuatan yang bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) dan termasuk kejahatan kemanusiaan (crime against humanity).

Dalam Pasal 1 Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU TPPO) disebutkan pula bahwa tindak pidana perdagangan orang adalah ”setiap tindakan atau serangkaian tindakan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang ditentukan dalam Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan (UU TPPO)”. Kategori ini menunjukkan bahwa unsur utama (bestandel) dalam kejahatan perdagangan orang adalah setiap perbuatan yang pada hakikatnya menyebabkan tereksploitasinya seseorang dalam penderitaan psikis, mental, fisik, seksual, ekonomi, dan/atau sosial, yang diakibatkan tindak pidana perdagangan orang.

Salah satu wujud kejahatan perdagangan orang adalah perdagangan perempuan. Konsep perdagangan perempuan memuat makna bahwa korban dijadikan sebagai objek perdagangan terutama yang berkaitan dengan eksploitasi seksual yang meliputi segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari korban untuk mendapatkan keuntungan. Pengertian ini, pada umumnya hanya berkaitan dengan eksploitasi seksual perempuan meskipun demikian tidak tertutup kemungkinan pada organ dan bukan organ laki-laki. Dalam kaitan dengan peningkatan kualifikasi tindak pidana perdagangan orang sebagai kejahatan luar biasa, maka unsur eksploitasi manusia sebagai perbuatan mengeksploitasi perempuan merupakan perbuatan yang merusak atau melanggar hak-hak asasi manusia.

Setiap orang dalam konsep Hak Asasi Manusia (HAM) tidak dapat menjadi objek perdagangan (objek hukum). Manusia hanya layak sebagai subjek hukum yang memiliki hak dan kewajiban. Oleh karena itu perbuatan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) merupakan perbuatan yang tergolong kejahatan extra ordinary crime.

Usaha menanggulangi kejahatan perdagangan orang memerlukan sumber daya yang besar dan waktu yang lama, apalagi perdagangan orang merupakan kejahatan transnasional yang terorganisir. Diperlukan konsolidasi antara unsur­-unsur penyelenggara negara dan juga kerja sama dengan negara-negara lain agar upaya-upaya penanggulangan perdagangan orang dapat berjalan dengan efektif. Dengan usaha bersama diupayakan dengan diberlakunyan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 59 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional (RAN) Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak, Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 87 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersil Anak, dan Keppres Nomor 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak, serta aksi-aksi nyata dari sektor-sektor terkait, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), organisasi kemasyarakatan, kepolisian, dan lain-lain.

Perdagangan orang telah dikriminalisasi dalam hukum positif di Indonesia. Kejahatan perdagangan orang disebut secara eksplisit dalam Kitab Undang­-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai berikut. Dalam Pasal 297 Kitab Undang­-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyatakan bahwa “perdagangan wanita (umur tidak disebutkan) dan perdagangan anak-anak laki-laki yang belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun". Rumusan pasal ini merupakan kategori normatif oleh undang-undang pidana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun