Mohon tunggu...
PriMora Harahap
PriMora Harahap Mohon Tunggu... karyawati -

Female. Just an ordinary people and resident of Jakarta who loves and interested in writing, singing, dancing, reading, playing piano, listening to the music (especially classic & jazz), art & culture, social, economic, politic, finance and learning new things more interesting.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Sekedar Pilihan Diksi atau Gagal Memahami Data dan Informasi ???

9 Juli 2014   11:41 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:53 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pilihan kata tak pelak akan mencerminkan maksud dari pesan yang disampaikan. Itu sebabnya maka penting bagi seorang pembicara untuk memilih kosa kata atau diksi yang tepat untuk dalam menyampaikan pesannya kepada khalayak. Penggunaan diksi yang berbeda akan memberikan makna yang berbeda pula.

Pada debat capres dan cawapres yang baru lalu pemilihan diksi telah meninggalkan kesan yang ambigu pada pemirsa, sehingga perbedaan interpretasi dengan sang pembicara pemberi pesan kemudian menjadi perbincangan di ruang publik. Dampaknya tentu pesan yang dimaksudkan pembicara tidak tersampaikan dengan baik.

Dalam debat yang dihelat dalam 5 putaran itu, capres dari nomor urut 1 memilih kata “bocor” untuk menyampaikan pesannya di putaran debat pertama. Pilihan kata itu tidak akan menjadi pertanyaan lebih lanjut seandainya data yang menyertainya mendukung pilihan kosa kata tersebut. Namun kejanggalan yang menyertai makna keseluruhan pesan membuat pemilihan kata “bocor” ramai diperbincangkan dan bahkan dipertanyakan ke setiap pihak terkait dengan perolehan data menurut sang capres pembicara. Penggunaan kata “bocor” digunakannya dalam konteks adanya kebocoran di bidang perekonomian negara sebesar Rp. 7 trilliun sesuai data yang diterima timnya dari KPK atau sebesar Rp. 1,2 trilliun berdasarkan olahan data tim suksesnya. Sayangnya, manapun data yang digunakan tetap menyisakan kejanggalan mengingat APBN republik ini hanyalah sebesar Rp. 1,8 trilliun saja. Dengan demikian, makna kata bocor yang digunakannya menjadi sulit untuk direlevansikan dengan besarnya APBN, karena bila disandingkan dengan data Rp. 7 trilliun akan memberi makna besar pasak dari tiang, sebuah hal yang tentu saja tidak masuk akal. Sedangkan bila kata bocor tersebut disandingkan dengan data Rp. 1,2 trilliun juga tetap menimbulkan pertanyaan, “apakah mungkin kebocoran uang negara lebih dari 50 % APBN” ? Karena bila hal itu terjadi maka tentu sulit bagi negara ini menjalankan dan mendanai seluruh kegiatan bernegara, dimana untuk membiaya pengeluaran sumber daya manusia saja tidak akan tercukupi dari sisa kebocoran yang ada.

Tatkala publik dan khususnya media mempertanyakan kebenaran data kebocoran tersebut kepada pihak2 terkait, baik KPK maupun Istana, yang diperoleh adalah penyangkalan. Tentu hal ini menimbulkan perbincangan lebih lanjut yang secara tidak langsung mempengaruhi citra sang capres akan validitas data yang digunakannya. Sehingga membuat cawapres pasangannya maupun tim suksesnya harus sibuk memberi ralat dengan mengatakan bahwa kata yang dimaksud adalah “potensi kebocoran”. Tentu saja terdapat perbedaan makna yang besar antara penggunaan kata “bocor” dengan “potensi kebocoran”. Publikpun bertanya mengenai pilihan kata mana yang sesungguhnya dimaksud pada pesan yang ingin disampaikan sang capres, mengingat sang capres mengucapkan kata “bocor” dengan penuh keyakinan dan bahkan disampaikan berulangkali, tanpa keraguan, tidak hanya pada debat pertama namun juga di debat putaran berikutnya. Dari berbagai elemen komunikasi non verbal, baik gestur maupun intonasi dan artikulasi capres tersebut, tidak ada kesan salah ucap dalam penyampaiannya. Hal inimembuat banyak orang lebih meyakini ucapan sang capre yang terlontar saat sesi debat dibandingkan dengan ralat-ralat yang disampaikan kemudian oleh cawapres dan tim suksesnya. Kerapkali kebenaran ralat yang disampaikan setelah acara berlangsung, ataupun dalam kesempatan lain dan bukan oleh sang pemberi pesan utama diragukan oleh para penerima pesan.

Kesalahan pemilihan diksi berikutnya dilakukan oleh cawapres masih dari pasangan nomor urut yang sama yaitu nomor urut 1. Sang cawapres tampak yakin saat memilih kata “kalpataru” dalam pertanyaan yang dilontarkannya kepada kandidat pesaing. Sayang sekali penggunaan kata “kalpataru” yang diucapkan dalam konteks pertanyaan raihan penghargaan untuk lingkup / skala kompetisi antar kota menjadi salah karena penghargaan untuk lingkup kota disebut dengan penghargaan “adipura”. Kesalahan pemilihan diksi yang kembali berdampak pada perbedaan makna sehingga pesan menjadi tidak tersampaikan.

Melihat terjadinya beberapa kali kekeliruan penggunaan pilihan kata dari pasangan capres-cawapres dengan nomor urut sama tersebut, membuat terbetik pertanyaan di benak saya.

Apakah kesalahan penggunaan kosa kata tersebut memang hanya dikarenakankekeliruan pemilihan diksi ? Ataukah kosa kata yang dipilih memang dimaksudkan demikian oleh sang pembicara pemberi pesan. Namun kemudian menjadi sebuah kesalahan yang lebih disebabkan oleh kekeliruan dalam membaca dan menginterpretasikan data yang diterimanya.

Bila sang pemberi pesan memang yakin denganpilihan kata yang digunakannya, yang ditunjang pula oleh setiap elemen komunikasi non verbal yang mengiringi pengucapan kata tersebut, maka pertanyaan selanjutnya tentunya mengenai data atau informasi yang menjadi dasar pemberi pesan memilih kosa kata tersebut.

Apakah data / informasi yang diberikan oleh tim sukses kepada pasangan capres-cawapres tersebut sudah benar ? Bisa saja data / informasi yang diterimanya mengandung kesalahan, sehingga menjadi wajar bila sang pemberi pesan juga menggunakan pilihankata yang tidak sesuai. Bagaimanapun bila data / informasi yang disodorkan kepadanya menyebutkan bahwa angka Rp.1,2 trilliun tersebut sebagai kebocoran, maka tentu saja data / informasi tersebut sudah janggal bila mengingat besarnya APBN hanya Rp. 1,8 trilliun. Begitupun halnya dengan informasi seputar penghargaan untuk setiap lingkup yang berbeda.

Seandainya hal ini yang terjadi, maka dapat dikatakan bahwa telah terjadi pengolahan data yang keliru dalam pemberian konsumsi informasi oleh tim sukses kepada sang capres. Sebuah hal yang harus mendapat perhatian serius dari tim suksesnya agar selanjutnya lebih berhati-hati dalam mengolah dan menyajikan data kepada capres-cawapresnya. Karena tingkat kebenaran pengolahan data dan validitas data yang disajikan merupakan konsumsi informasi yang selanjutnya menjadi dasar bagi setiap tindakan, kebijakan, strategi bahkan keputusan yang diambil oleh jenjang pemangku jabatan yang lebih tinggi. Pengolahan dan penyajian data yang salah untuk konsumsi informasi pejabat pemangku jabatan yang memiliki wewenang dan tanggungjawab kunci (baik dalam lingkup organisasi apalagi pada tataran penyelenggaraan negara) tentu dapat berakibat fatal karena bisa berdampak pada kesalahan dalam pengambilan strategi, kebijakan maupun keputusan. Kecerobohan tim pengolah dan penyaji data / informasi bagi para pejabat kunci (key persons) tidak dapat ditolerir.

Begitupun, seorang pejabat kunci (key person) bahkan pada tingkat pimpinan haruslah memiliki kemampuan membaca dan memahami data / informasi sehingga mempunyai kepekaan terhadap adanya kemungkinan kesalahan data / informasi yang diterimanya. Kemampuan sekedar membaca data / informasi saja tidaklah cukup. Seorang pemangku jabatan tertinggi dan pengambil keputusan haruslah memiliki kemampuan untuk memahami data / informasi yang diperolehnya, yang tentu saja harus ditunjang dengan pengetahuan dan wawasan yang luas. Sehingga bila terdapat kesalahan pengolahan data / informasi oleh tim penyaji data, tidak berdampak fatal tatkala sang pejabat kunci mampu menyadari kejanggalan yang terjadi dan segera melakukan koreksi.

Maka apakah kesalahan penggunaan kosa kata yang terasa janggal dalam konteks permasalahan yang menyertainya itu semata disebabkan karena kekeliruan pemilihan diksi ? Atau disebabkan karena kesalahan pengolahan dan penyajian data, yang diikuti dengan kegagalan sang penerima data untuk memahami dan menemukan letak kekeliruannya, sehingga menimbulkan kejanggalan makna dalam keseluruhan konteks permasalahan yang diucapkan ?

Penggunaan kosa kata yang tidak tepat karena kegagalan seorang pemimpin untuk memahami data dan informasi yang tersaji tentu dapat berdampak fatal pada pengambilan sikap, kebijakan dan keputusan yang salah.

7 Juli 2014

-PriMora Harahap-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun