Mohon tunggu...
Inovasi

Era Modern yang Sia-sia

11 Maret 2016   11:36 Diperbarui: 11 Maret 2016   12:09 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

            Era modern menjadikan masyarakat menjadi serba praktis dan lebih dimudahkan. Hal ini dialami oleh semua masyarakat di belahan dunia. Tidak terkecuali di Indonesia.

            Munculnya gadget, membuat masyarakat Indonesia sangat antusias. Hal ini dikarenakan gadget seperti handphone (HP), laptop dan komputer, telah didukung dengan akses internet atau jelajah dunia maya. Masyarakat Indonesia dapat dengan mudah dan cepat mendapatkan informasi yang mereka cari.

            Memang, era modern menjadikan segalanya tampak menjadi lebih mudah. Namun kelebihan dari era modern, jika tidak didukung dengan sikap yang baik dari masyarakatnya itu sama saja semu. Sama saja modern yang tidak asli. Sama saja modern yang sia-sia. Sama saja modern yang omong kosong belaka.

            Sikap yang baik itu dapat diwujudkan dengan penerapan etika dalam kehidupan sehari-hari. Etika yang digunakan, sangatlah sederhana yakni menghormati dan menghargai orang lain. Namun sayangnya, etika yang sudah dikatakan sederhana ini pun, masih saja ada yang menyepelekannya. Seperti Mahsudi (38), seorang guru honorer yang memaki-maki Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB), Yuddy Chrisnandi melalui pesan singkat (SMS).

            Dilansir dari situs berita online tempo.co, isi SMS Mahsudi yang ditujukan pada Menteri Yuddy adalah “Asu yudi goblog jadi menpan rusak, kami bisa hilang kesabaran tak bantai nt dan keluargamu ! hati2 ini akan jd kenyataan.”

            Membaca isi pesan singkat itu, tidak dapat dikatakan Mahsudi sebagai guru honorer yang terdidik. Bahkan, orang awam atau yang tidak memiliki tingkat pendidikan seperti Mahsudi pun, akan berpikir dua kali untuk mengirim SMS seperti itu, apalagi SMS yang ditujukan bagi penjabat publik.

            Akibat SMS Mahsudi yang tidak beretika itu, ia terancam mendapat hukuman pidana selama 9 tahun. Mahsudi harus membayar perbuatan tidak beretika yang sudah dilakukannya.

            Memang, Indonesia merupakan negara yang demokrasi. Di mana semuanya tertuju pada rakyat. Di mana rakyat memegang kendali dalam sistem pemerintahan. Juga di mana rakyat dibebas untuk menyampaikan aspirasi mereka. Namun, aspirasi seperti Mahsudi kah yang dimaksudkan dalam demokrasi di Indonesia? Jawabannya, tentu tidak.

            Demokrasi haruslah mengandung nilai-nilai yang baik. Seperti kemanusiaan, salah satunya. SMS Mahsudi tersebut, sudah jelas merendahkan martabat Yuddy sebagai seorang menteri. Yuddy dihina, Yuddy diancam, dan Yuddy dilecehkan. Seakan Yuddy dianggap oleh Mahsudi, seorang menteri yang rusak, gagal, dan lebih rendah dari sampah. Kata-kata dalam SMS Mahsudi itu sudah melanggar nilai kemanusiaan yang berlaku dalam demokrasi di Indonesia. Lantas bagaimana caranya memperbaiki hal ini? Adakah solusi yang dapat diberikan?

            Pertama, belajarlah tentang etika. Tidak perlu etika yang sudah berada di level kehidupan bangsa dan bernegara, namun etika dalam keluarga saja. Seperti menghormati orang tua. Itu sudah cukup. Hal ini dikarenakan, anak yang sudah dididik untuk bisa menghormati orang yang lebih tua atau orang lain, ia akan otomatis melakukan hal yang sama dalam lingkungan tempat tingalnya. Anak yang besar dalam keluarga sepert ini, dapat dipastikan tidak akan mengalami kejadian seperti Mahsudi.

            Kedua, jika ingin menyampaikan aspirasi, gunakanlah forum diskusi yang sudah disediakan. Seperti Kompasiana, misalnya. Selain lebih rinci, si penulis juga lebih bisa menggunakan etikanya dalam menulis, tidak seperti Mahsudi yang hanya menggunakan emosi sesaat saat menyampaikan aspirasinya itu.

            Ketiga dan terakhir, gunakan tingat pendidikan yang dimiliki sesuai dengan apa yang dibutuhkan. Seperti level sarjana, seharusnya lebih mengedepankan pikiran yang logis dan rasional dari pada emosi sesaat yang kekanak-kanakan. Tentu semua orang tidak mau mengalami hal yang sama seperti Mahsudi bukan? Level sarjana dan profesi guru, namun mental tidak lebih dari kuli bangunan.

Primavita

Referensi , Diakses pada Kamis, 10 Maret 2015 pukul 12.00 WIB

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun