Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Begini Rasanya Menjadi Minimalis Digital dan Bebas Media Sosial

13 Januari 2022   07:02 Diperbarui: 14 Januari 2022   01:49 3332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Upaya untuk keluar dari platform media sosial dan mencabutnya dari ponsel kita rasanya seperti berhenti dari kecanduan narkoba (Sumber: Tyler Lastovich/unsplash.com)

Kehilangan Penawaran Kerja karena Menjadi Minimalis Digital

Sudah lebih dari 6 bulan saya menganut gaya hidup minimalis digital. Menjadi minimalis digital bukan berarti saya meninggalkan dunia digital sepenuhnya, atau bahkan anti media sosial. Namun, lebih pada mengurangi secara drastis jatah waktu yang saya habiskan untuk bermain-main di dunia maya.

Selama lebih dari 6 bulan tersebut, praktis saya tidak pernah menengok akun-akun media sosial. Saya juga mencopoti semua aplikasi media sosial yang ada di ponsel, hanya menyisakan aplikasi perpesanan WhatsApp.

Gaya hidup minimalis digital ini saya pilih karena saya ingin merasakan pengalaman hidup yang lebih baik. Saya benar-benar peduli dengan kesehatan (baik fisik maupun mental), karena jika saya dapat dengan mudah menghabiskan 6 jam di tempat melihat layar ponsel tanpa melakukan sesuatu yang produktif, maka itu adalah tanda bahaya besar.

Memang tidak mudah menjadi minimalis digital. Saya dapat mengatakan dari pengalaman bahwa upaya untuk keluar dari platform media sosial favorit dan mencabutnya dari ponsel kita dapat terbukti menantang oleh tuntutan keluarga, teman, dan pekerjaan.

Contoh paling nyata adalah terkait pekerjaan saya sebagai penulis konten. Ada beberapa penawaran penulisan konten yang saya tolak karena klien menghendaki distribusi konten di media sosial. Tentu, hal ini berlawanan dengan niat saya yang ingin puasa media sosial.

Meski terpaksa harus melepas banyak penawaran, saya tidak merasa kehilangan sumber pendapatan. Dari awal saya percaya bahwa rezeki tidak akan lari jika sudah ditetapkan oleh-Nya. Pekerjaan boleh di-copy, tapi rezeki tidak bisa di-paste. 

Seperti Berhenti dari Kecanduan Narkoba

Selain terbentur oleh tuntutan pekerjaan, menjadi minimalis digital tidak mudah karena rasanya seperti berhenti dari kecanduan narkoba. Tidak diragukan lagi, ponsel cerdas adalah penemuan terbesar di abad ke-21 yang perlahan-lahan mengubah masyarakat secara besar-besaran. 

Berbeda dengan teknologi seperti mobil yang merupakan objek yang kita gunakan hanya sesekali, smartphone adalah teknologi yang benar-benar kita gunakan setiap hari dan terkadang selama berjam-jam. 

Tidak berlebihan jika ponsel cerdas diklasifikasikan sebagai candu di suatu tempat di masa depan karena bagi generasi baru yang tidak tahu apa hidup tanpa teknologi ini, mereka dapat dengan mudah kecanduan sejak usia muda.

Ini tidak mengherankan karena umpan media sosial menghasilkan pelepasan dopamin di otak kita yang membuat kita bahagia. Dan itulah sebabnya berhenti terburu-buru ini terasa seperti berhenti dari narkoba. 

Perbedaan antara media sosial dan obat-obatan sebenarnya adalah dalam jumlah pelepasan dopamin dan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mencapai puncaknya.

Mengganti Waktu Layar dengan Aktivitas yang Bermanfaat

Sama seperti mengatasi kecanduan narkoba atau rokok, kita harus mengganti aktivitas layar kita dengan sesuatu yang lain yang bisa mengalihkan perhatian kita sepenuhnya. Untunglah, saya cukup terbantu dengan kesibukan menyiapkan pelajaran anak-anak TK.

Untuk mengganti kebiasaan mengecek notifikasi media sosial, saya mencoba mencari kesibukan atau aktivitas lain yang lebih produktif dan bermanfaat. Selain membaca dan menulis, aktivitas yang bisa membantu saya mengalihkan perhatian saya dari media sosial adalah menghafal Al Quran.

Jika biasanya setiap pagi saya awali dengan memeriksa media sosial, kini pagi hari saya awali dengan kebiasaan menghafalkan Al Quran. 

Usai membereskan pekerjaan rumah tangga, saya duduk menikmati udara pagi dan sinar mentari di teras rumah, lalu selama sekitar 1 jam saya mengulang kembali hafalan dan menambah hafalan baru. 

Setelah itu, baru kemudian saya memeriksa dan membalas pesan-pesan yang masuk, baik di aplikasi perpesanan maupun email. Di hari-hari sekolah, waktu saya untuk online pun menjadi terbatasi dengan sendirinya karena saya harus bersiap-siap untuk mengajar.

Bagaimana bila sedang libur atau ketika tidak mengajar?

Saya berusaha untuk selalu menyibukkan diri sendiri. Pulang dari mengajar, saya hanya memeriksa sekilas pesan-pesan di WhatsApp. Jika pun harus online atau memerlukan browsing internet, saya hanya berselancar di situs-situs yang memang saya butuhkan.

Begitu pula bila sedang antre atau menunggu, saya selalu menahan diri untuk tidak membuka WhatsApp bila tidak ada pesan masuk. Saya mencoba menghabiskan waktu menunggu tersebut dengan membaca, mengulang hafalan, atau memperhatikan orang-orang di sekitar saya.

Puasa Media Sosial dan Berita

Selain berpuasa media sosial, saya juga puasa berita. Praktis, saya buta informasi tentang perkembangan berita-berita terkini. Bukan berarti saya sudah apatis dan skeptis tentang perkembangan negara saya. Namun, menurut saya justru hal ini malah membuat saya lebih tenang dan lebih bahagia.

Intrik-intrik politik yang biasanya selalu saya ikuti, kini tidak lagi mengganggu pikiran saya. Update sepak bola yang selalu membuat saya geregetan, kini tidak lagi membuat saya terusik. Hidup saya benar-benar tenang, dalam arti harfiah.

Saya memang masih mengikuti perkembangan berita, tapi itu pun berupa potongan-potongan judul berita yang diposting teman-teman saya di salah satu grup WhatsApp. Hanya kalau berita itu benar-benar penting dan menuntut perhatian, saya baru membuka tautan beritanya. Bila hanya sekedar gosip atau bahkan berita yang tidak jelas (baik secara sumber maupun faktanya), saya tidak membuka tautan yang dibagikan teman tersebut.

Apa yang terjadi selama saya menjadi minimalis digital?

Tidak ada yang Peduli dengan Ketidakhadiran Online Saya

Hal pertama yang saya sadari perhatikan ketika memutuskan keluar dari semua akun media sosial adalah, ternyata sedikit sekali orang yang peduli atau bahkan menyadari bahwa saya telah tiada di daftar pertemanan media sosial mereka. 

Ada begitu banyak konten di luar sana bagi teman-teman di dunia maya untuk menyadari bahwa satu orang hilang dari umpan tak terbatas. Saya tidak menerima pesan apa pun yang menanyakan saya selama saya pergi dari keriuhan media sosial. 

Pada dasarnya, tidak ada yang tahu saya pergi. Teman-teman saya hanya berbicara kepada saya seolah semuanya baik-baik saja.

Benarlah apa yang dikatakan Gazzely dan Rosen dalam buku mereka, The Distracted Mind, bahwa "Kita tampaknya lebih peduli tentang orang-orang yang tersedia melalui perangkat kita daripada mereka yang ada di depan wajah kita."

Dalam kehidupan nyata, jika kita melihat seseorang hilang bahkan hanya untuk beberapa jam, kita langsung bisa merasa kehilangan dan berusaha mencari tahu kabar orang tersebut. Tetapi dalam kehidupan di dunia maya, kita tidak dapat melihat apa yang mungkin dialami atau bahkan dipedulikan orang tersebut.

Kita terus-menerus terganggu oleh hal-hal lain, konten-konten yang terus diproduksi. Sayangnya hidup kita hanya menuju dunia digital dan di dunia seperti itu, empati dan kepedulian hilang demi menjadi viral.

Uji Nyalimu untuk Menjadi Minimalis Digital

Mungkin ada yang berpikir, bagaimana dengan ruang yang ditawarkan untuk karya seni atau etalase produk yang baru kita rintis?

Bagaimana dengan konten-konten yang menginspirasi kita dan berhasil membuat kita berubah menjadi lebih baik?

Ambil napas dalam-dalam.

Memang benar, menjadi minimalis digital bisa berhasil dan baik bagi sebagian orang. Dan tidak semua orang bisa meninggalkan media sosial karena tuntutan pekerjaan.

Jika meninggalkan media sosial tampaknya terlalu berlebihan, mengapa tidak mencobanya selama sebulan, seminggu, atau bahkan sehari?

Jangan hanya berasumsi bahwa Instagram adalah alat pemasaran terbaik untuk bisnis kecil kita. Jangan berasumsi YouTube satu-satunya media yang dapat menginspirasi kita. Jangan berasumsi kita kehilangan kontak dengan teman-teman jika kita tidak berpartisipasi secara online.

Untuk membuktikannya, uji nyalimu untuk menjadi minimalis digital sebulan, seminggu atau bahkan sehari!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun