Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Gadget Pilihan

Meski Sangat Menarik, Saya Tidak Ingin Memasuki Metaverse!

27 Desember 2021   07:15 Diperbarui: 27 Desember 2021   08:20 1158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seketika itu pula saya dihadapkan dengan kenyataan bahwa tidak satu pun dari apa yang saya jumpai di metaverse adalah kenyataan (Meta/Facebook)

Bukan tanpa alasan apabila Facebook mengubah brand-nya menjadi Meta pada keynote Connect 2021 kemarin. Perubahan nama itu hanya bagian dari pertunjukan. Inti sebenarnya dari presentasi Mark Zuckerberg adalah Metaverse.

Apa itu Metaverse?

Ini bukan kata baru yang ditemukan Mark Zuckerberg. Secara semantik, "Metaverse" adalah gabungan dari dua kata: "meta" dan "verse". Meta, dalam konteks ini memiliki arti yang mirip dengan metafisika, melampaui atau mengubah. Sedangkan "verse" bisa kita artikan sebagai alam semesta. Jika digabungkan, kita akan mendapatkan arti "sesuatu yang melampaui dan mengubah alam semesta". Kata metaverse pertama kali muncul dalam novel Snow Crash yang ditulis Neal Stephenson.

Mark Zuckerberg kemudian merealisasikan fiksi masa depan tersebut melalui sebuah demo yang ditayangkan secara langsung di Facebook. Mirip dengan film Ready Player One, Mark Zuckerberg memakai Oculus/Smart Glasses, lalu bermetamorfosis menjadi avatar dan melangkah memasuki metaverse. Visualnya berubah menjadi futuristik. Dan tiba-tiba, semuanya menjadi virtual. Mark berjalan di sekitar 'rumahnya', sebuah rumah subur yang dipenuhi dengan pemandangan pohon palem dan air sebelum kebahagiaannya terganggu oleh notifikasi rapat.

Mark kemudian seolah melayang di luar angkasa dengan avatar teman-temannya, salah satunya adalah robot raksasa. Selanjutnya, teman (orang sungguhan) muncul di Metaverse melalui panggilan video dalam kombinasi virtual, audio, dan video yang aneh.


Inilah dunia masa depan yang sedang digarap Mark Zuckerberg. Metaverse akan menjadi platform di masa depan sebagaimana Internet adalah platform saat ini. 

Sama seperti Internet memberikan layanan hari ini, metaverse akan memberikan layanan besok --- dalam 3D. Metaverse akan menjadi kumpulan teknologi baru yang mencakup virtual reality, mixed reality, augmented reality, Blockchain, dan cryptocurrency --- dirajut bersama oleh triliunan baris kode digital.

Kapan dan Bagaimana Kita Bisa Sampai ke Metaverse?

Perubahan teknologi datang dalam gelombang. Tahun 1990-an adalah gelombang PC dan Web 1.0. Ini adalah Internet sejak zaman AOL dan CompuServe, yang dicirikan oleh PC desktop, modem dial-up (dengan kecepatan 56 kbps), Windows 95, halaman teks yang panjang, dan papan buletin.

Tahun 2000-an adalah gelombang seluler dan Web 2.0. Ini adalah Internet versi Facebook, YouTube, Netflix, dan layanan perpesanan WhatsApp yang dicirikan oleh PC laptop, ponsel cerdas, wi-fi, 4G, multimedia, dan konten buatan pengguna (UGC).

Gelombang berikutnya adalah Web 3.0. Inilah gelombang metaverse. Infrastrukturnya sedang dibangun sekarang dengan peluncuran 5G dan broadband serat optik ke depan pintu rumah kita.

Kapan kita bisa sampai ke metaverse?

Zuckerberg mengungkapkan rencana besarnya itu mencakup lima hingga 10 tahun. Namun, itu semua membutuhkan infrastruktur yang sangat kompleks yang tidak mungkin bisa dibangun dalam satu dua tahun ke depan. Membangun industri perangkat keras yang mendukung metaverse mungkin bisa dilakukan lebih cepat mengingat sekarang semuanya serba terkomputasi.

Namun, masalah yang lebih sulit adalah perangkat lunak. Tidak hanya miliaran baris kode yang diperlukan untuk membuat metaverse tetapi juga standar dan protokol yang akan diperlukan untuk memastikan bahwa metaverse "cocok bersama" --- termasuk cara menyimpan aset digital (menggunakan Blockchain) dan nilai tukar (menggunakan cryptocurrency, dan itu sebabnya Facebook sebelum meluncurkan metaverse terlebih dulu meluncurkan mata uang digital mereka, Diem, yang sebelumnya dikenal dengan nama Libra).

Apakah Kita Ingin Ke Metaverse?

Seandainya metaverse sudah bisa kita jangkau, pertanyaan berikutnya yang perlu kita jawab adalah: Apakah kita ingin memasukinya?

Saat melihat demo presentasi Mark Zuckerberg, semuanya terlihat mengasyikkan. Dunia baru yang benar-benar menggugah rasa ingin tahu kita untuk memasukinya. Prospek hidup bahagia di dunia maya terlihat sangat menjanjikan, di saat kita harus melihat dunia nyata meluruh suram di sekitar kita.

Andaikata Mark Zuckerberg memberi saya Oculus dan membiarkan saya berkeliaran di luar angkasa, atau melakukan perjalanan ke pantai, atau membangun rumah impian saya (lengkap dengan mobil Maserati dan kolam renang pribadi), saya pasti akan memasuki metaverse untuk memuaskan rasa ingin tahu saya. Tapi, itu hanya berlangsung tidak lebih dari satu jam.

Berikutnya, yang saya lakukan adalah melepas headset dan seketika itu pula saya dihadapkan dengan kenyataan bahwa tidak satu pun dari apa yang saya jumpai di metaverse adalah kenyataan!

Metaverse hanya menghadirkan utopia sesaat. Karakter kartun, pertemuan konyol di lingkungan sci-fi, tidak akan berarti apa-apa karena itu semua terjadi di dunia maya. Kita masih akan hidup di dunia nyata yang berantakan. Sekalipun begitu, lebih baik menghadapi tantangan dunia nyata yang meluruh daripada menghadirkan utopia palsu di metaverse.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun