Sampai detik ini, saya masih heran sekaligus bingung, mengapa artikel kesehatan dengan topik yang biasa saja (dalam arti bukan topik terkini) bisa dibaca hingga lebih dari seratus ribu kali. Artikel yang saya maksud berjudul Empat Kebiasaan Kecil yang Dapat Merusak Otak Tanpa Kita Sadari.
Sampai detik ini pula, saya masih berpikiran mesin hitung Kompasiana sedang rusak. Di saat artikel-artikel di kategori kesehatan (maupun kategori lainnya) hanya mendapat hitungan tidak sampai 100 kali dibaca, jumlah pembaca artikel tersebut terus naik secara signifikan.
Jika dilihat dari sudut teori pemasaran tulisan online, viralnya artikel tersebut menjadi sebuah anomali. Ya, artikel itu tidak memenuhi syarat bauran pemasaran tulisan online, atau writing marketing mix.
Mengenal Writing Marketing Mix dan Anomali Artikel di Kompasiana
Dalam teori marketing, kita mengenal istilah Marketing Mix, bauran pemasaran berupa akronim 4P: Product, Price, Place, Promotion. Begitu pula dalam dunia penulisan online.Â
Bukan penulis terbaik yang berhasil, tapi penulis yang memilih topik (product) yang tepat, dengan promosi terbaik, dengan biaya yang tepat untuk pembaca, dalam publikasi yang tepat pada waktu yang tepat.Â
Sekarang, mari kita bedah artikel yang anomali tersebut menurut teori writing marketing mix:
Product
Dalam lingkup dunia penulisan online, memilih topik yang tepat dan cara menyusun tulisan agar mudah diakses pembaca sama dengan membuat produk yang bagus. Menurut teori marketing, produk yang bagus adalah produk yang banyak dicari orang. Begitu pula dengan tulisan, bila kita ingin tulisan kita dibaca banyak orang, maka pilihlah topik yang sedang tren atau viral.
Topik artikel yang sedang kita bedah ini tidak populer. Menurut penulusuran Google Trend, topik yang banyak dicari di internet seminggu terakhir adalah Piala AFF dan Gunung Semeru. Bisa kita lihat, secara produk artikel bertema kesehatan tidak memenuhi syarat untuk bisa menjadi populer dan dibaca banyak orang.
Price
Price, atau harga dalam dunia penulisan adalah lama waktu membaca. Menurut Sudjiwo Tejo dalam bukunya Republik Jancukers, bangsa kita adalah bangsa 140 karakter. Maksudnya, dalam hal literasi bangsa Indonesia lebih menyukai artikel-artikel yang singkat, sesingkat jumlah karakter di Twitter.
Bagi pembaca, waktu adalah uang. Mereka tidak ingin membuang-buang waktu untuk membaca artikel yang panjang dan tidak menarik.Â