Kemerdekaan yang diraih bangsa Indonesia tak bisa dilepaskan dari peran seniman dan karya seni rupa mereka, mulai dari poster hingga mural dan grafiti. Lewat coretan kata-kata atau gambar patriotik di tembok-tembok jalanan, mereka menggugah semangat perjuangan dan nasionalisme rakyat Indonesia. Paling sederhana adalah coretan tulisan "Merdeka atau Mati!"Â
Seni Rupa Sebagai Alat Propaganda dan Perjuangan
Pada masa perang kemerdekaan, karya seni rupa dua dimensi seperti mural, grafiti, poster hingga baliho menjadi alat propaganda penjajah, sekaligus alat perjuangan yang efektif dalam menggelorakan semangat perlawanan terhadap penjajah itu sendiri.Â
Maklum saja, waktu itu alat komunikasi belum secanggih sekarang. Jaringan radio pun masih terbatas. Maka, satu-satunya alat dan media untuk menyampaikan pesan-pesan perjuangan adalah melalui tulisan-tulisan di tembok-tembok rumah atau poster yang ditempel di tepi jalan.
Di Indonesia, fungsi seni sebagai alat propaganda ini mencapai puncaknya pada masa penjajahan Jepang. Pemerintah penjajah Jepang menyediakan cat minyak, kanvas, studio, dan bahkan model secara cuma-cuma bagi seniman Indonesia yang bergabung dengan proyek propaganda Jepang.Â
Tak hanya itu, Jepang juga menyelenggarakan kursus-kursus melukis bersama guru-guru Jepang dan pelukis terkemuka Indonesia di berbagai kota.
Semua keistimewaan dan kemewahan itu tidak pernah didapatkan seniman dan masyarakat awam selama masa pendudukan Belanda. Tidak mengherankan apabila dikatakan bahwa selama periode singkat pendudukan Jepang, jumlah seniman di Indonesia mengalami ledakan.
Seni dan propaganda pada masa pendudukan Jepang di Indonesia bisa dikatakan berada dalam hubungan yang saling membutuhkan. Jepang melihat para seniman sebagai alat untuk memobilisasi dukungan rakyat Indonesia bagi tujuan perangnya melalui karya seni mereka.
Sebaliknya, banyak seniman Indonesia memanfaatkan ketersediaan material, fasilitas dan pengetahuan seni baru dari pemerintah Jepang ini untuk menyebarkan ide-ide nasionalis dan patriotisme kepada masyarakat.
Salah satu karya seni propaganda yang terkenal pada masa perang kemerdekaan adalah poster bergambar seorang pemuda berteriak, kepala menoleh ke kanan, tangan kanannya memegang bendera merah putih, dan kedua tanganya ada rantai putus. Di bagian bawah, tertulis "Boeng, Ajo Boeng".Â
Ide poster ini berasal dari Presiden Soekarno yang menginginkan poster sederhana namun kuat sebagai alat propaganda untuk membangkitkan semangat juang pemuda.Â
Tiga seniman besar Indonesia terlibat dalam pembuatan poster ini. Pelukis Dullah menjadi model poster, sedangkan maestro lukis Affandi membuat desain grafisnya. Kalimat "Boeng, Ajo Boeng" sendiri merupakan usulan dari penyair Chairil Anwar.Â
Seni Mural dan Grafiti Sebagai Media Perjuangan Rakyat Indonesia
Dari arsip foto-foto masa perang kemerdekaan Republik Indonesia, kita juga bisa melihat para seniman jalanan menuangkan ekspresi patriotisme mereka melalui karya seni mural dan grafiti. Seperti  yang terlihat dari foto hasil jepretan Cas Oorthuys berikut ini:
Fotografer asal Belanda ini membidik sebuah grafiti yang terpampang di gedung Nederlands-Indisch Handelsbank yang terletak di utara alun-alun Kota Malang pada 1945, tak lama setelah bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Gedung tersebut kini beralih fungsi menjadi gedung Bank Mandiri KCU Merdeka Malang.Â
Ada pula foto poster atau baliho terkenal lainnya yang diambil pada masa pertempuran 10 Nopember 1945 di Surabaya bertuliskan Once and Forever The Indonesian Republic, dengan gambar bendera merah putih di tengah.Â
Baliho ini sangat epik karena tepat di depannya, terdapat rongsokan mobil sedan milik Brigjend A.W.S Mallaby, komandan Brigade Inggris-India ke-49 yang terkena ledakan bom. Foto baliho itu hasil bidikan Sergeant D Davis and Sergeant D MacTavish, anggota Unit Film dan Fotografi Angkatan Darat Inggris.Â
Dalam perkembangannya, seni mural dan grafiti tak hanya menjadi seni jalanan sebagai media pengkritik penguasa. Banyak pemerintah daerah memanfaatkan seni mural dan grafiti untuk mempercantik wajah kota mereka sebagai sarana promosi pariwisata.Â
***
Referensi:
1. Biennale Jogja: Seni dan Propaganda pada Jaman Jepang
2. Historia: Antara Estetika dan Propaganda
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H