Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kisah di Balik Peribahasa "Mikul Dhuwur Mendhem Jero" yang Dianut Soeharto

11 Juni 2021   08:13 Diperbarui: 11 Juni 2021   08:16 5494
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mantan presiden RI, Soeharto dikenal sebagai orang yang menganut sekaligus memelihara falsafah Jawa. Banyak pengamat politik berpendapat, berbagai manuver politik yang dilakukan Soeharto tak lepas dari filosofi Jawa yang dipegangnya seumur hidup. Salah satunya adalah filosofi dari peribahasa "mikul dhuwur mendhem jero."

Secara harfiah, peribahasa "mikul dhuwur mendhem jero" berarti memikul tinggi-tinggi, memendam dalam-dalam. Secara filosofi, peribahasa ini dimaknai mengangkat kebaikan orang tinggi-tinggi dan menyembunyikan kesalahan/keburukan orang.

Kisah Di Balik Filosofi Mikul Dhuwur Mendhem Jero yang dianut Soeharto

Falsafah "mikul ndhuwur mendhem jero" ini dipegang erat Soeharto tatkala Indonesia memasuki masa-masa kritis usai pemberontakan G30S/PKI. Saat itu, Indonesia di ambang kepiluan di mana situasi politik, ekonomi dan sosial begitu tidak stabil.

Mahasiswa bersama rakyat turun ke jalan menuntut pertanggungjawaban Soekarno. Soeharto, yang saat itu menjabat Panglima Kostrad dihadapkan pada pilihan yang sulit terkait posisi Presiden Soekarno. Beberapa fakta mengarah pada dugaan keterlibatan, atau setidaknya pembiaran Soekarno terhadap peristiwa paling berdarah dalam sejarah Indonesia.

Sebagai pemimpin tertinggi, Soekarno menyarankan beberapa gagasan sebagai jalan keluar kemelut dalam negeri yang kian mengerikan. Namun Soeharto tidak mengindahkan. Baik Soekarno maupun Soeharto punya perbedaan pandangan yang cukup tajam terkait peristiwa pemberontakan PKI.

Probosutedjo, adik tiri Soeharto mengungkapkan kisah di balik falsafah mikul dhuwur mendhem jero yang dianut Soeharto. Suatu ketika di saat suasana politik tanah air memanas, Soekarno memanggil Soeharto. Saat itu Soekarno masih ngotot tidak mau membubarkan PKI sebagaimana yang dituntut oleh mahasiswa dan rakyat.

"Har, saya ini sudah diakui sebagai pemimpin dunia. Konsep Nasakom sudah saya jual kepada bangsa-bangsa di dunia ini. Sekarang saya harus membubarkan PKI, di mana, Har, saya harus menyembunyikan muka saya," kata Soekarno.

"Pak, kalau masalahnya untuk konsumsi dunia luar, gampang, jadikan saya bumper, saya yang akan membubarkan PKI, bukan Bapak, tetapi ke dalam negeri Bapak harus ngegongi (menyetujui)," jawab Soeharto.

Namun Soekarno tetap bersikukuh. Soeharto yang tidak melihat jalan keluar lain selain membubarkan PKI kemudian membatasi gerak Soekarno. Hingga kemudian dalam sebuah kesempatan, Soekarno kembali memanggil Soeharto dan bertanya,

 "Har, jane aku iki arep kok apakke? (Har, sebenarnya aku ini akan kamu apakan?) Aku ini pemimpinmu."

"Bapak Presiden," jawab Soeharto, "Saya ini anak petani miskin. Tetapi ayah saya setiap kali mengingatkan saya untuk selalu menghormati orang tua. Saya selalu diingatkannya agar dapat mikul dhuwur mendhem jero (memikul setinggi-tingginya, memendam sedalam-dalamnya) terhadap orang tua."

"Bagus," jawab Bung Karno.

"Bapak tetap saya hormati, seperti saya menghormati orangtua saya. Bagi saya, Bapak tidak hanya pemimpin bangsa, tetapi saya anggap orang tua saya. Saya ingin mikul dhuwur terhadap Bapak. Sayang, yang mau dipikul dhuwur mendhem jero tidak mau," kata Soeharto.

Kalimat terakhir yang disampaikan Soeharto menyiratkan pesan bahwa Soekarno tidak memahami apa yang hendak dilakukan Soeharto. Soekarno tidak sadar posisinya saat itu dalam keadaan terjepit. Soekarno merasa masih bisa mengatasi situasi politik dengan caranya sendiri, tidak melihat kenyataan bahwa mahasiswa bersama rakyat sudah tidak percaya lagi dengan kepemimpinannya. 

Refleksi atas Pengabdian Kita Terhadap Orangtua

Peribahasa mikul dhuwur mendhem jero bisa kita artikan sebagai refleksi pengabdian kita kepada orangtua dan penghormatan kita kepada guru atau orang lain yang sudah berjasa kepada kita. Soekarno, dalam pandangan Soeharto adalah orangtua, guru, sekaligus pemimpin yang telah berjasa baik kepada dirinya pribadi maupun bangsa Indonesia. Mengabdi dan mematuhi orangtua bukan berarti kita harus menjadi buta, menuruti segala perintah tanpa memandang baik buruknya. Sekiranya ada perintah yang salah, hal ini tak perlu kita patuhi, namun tetap kita simpan kesalahan tersebut sehingga orang lain tidak sampai mengetahuinya. Sekiranya atas peran orangtua atau guru itu kita menjadi sukses, maka peran mereka harus kita junjung tinggi. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun