"Bapak Presiden," jawab Soeharto, "Saya ini anak petani miskin. Tetapi ayah saya setiap kali mengingatkan saya untuk selalu menghormati orang tua. Saya selalu diingatkannya agar dapat mikul dhuwur mendhem jero (memikul setinggi-tingginya, memendam sedalam-dalamnya) terhadap orang tua."
"Bagus," jawab Bung Karno.
"Bapak tetap saya hormati, seperti saya menghormati orangtua saya. Bagi saya, Bapak tidak hanya pemimpin bangsa, tetapi saya anggap orang tua saya. Saya ingin mikul dhuwur terhadap Bapak. Sayang, yang mau dipikul dhuwur mendhem jero tidak mau," kata Soeharto.
Kalimat terakhir yang disampaikan Soeharto menyiratkan pesan bahwa Soekarno tidak memahami apa yang hendak dilakukan Soeharto. Soekarno tidak sadar posisinya saat itu dalam keadaan terjepit. Soekarno merasa masih bisa mengatasi situasi politik dengan caranya sendiri, tidak melihat kenyataan bahwa mahasiswa bersama rakyat sudah tidak percaya lagi dengan kepemimpinannya.Â
Refleksi atas Pengabdian Kita Terhadap Orangtua
Peribahasa mikul dhuwur mendhem jero bisa kita artikan sebagai refleksi pengabdian kita kepada orangtua dan penghormatan kita kepada guru atau orang lain yang sudah berjasa kepada kita. Soekarno, dalam pandangan Soeharto adalah orangtua, guru, sekaligus pemimpin yang telah berjasa baik kepada dirinya pribadi maupun bangsa Indonesia. Mengabdi dan mematuhi orangtua bukan berarti kita harus menjadi buta, menuruti segala perintah tanpa memandang baik buruknya. Sekiranya ada perintah yang salah, hal ini tak perlu kita patuhi, namun tetap kita simpan kesalahan tersebut sehingga orang lain tidak sampai mengetahuinya. Sekiranya atas peran orangtua atau guru itu kita menjadi sukses, maka peran mereka harus kita junjung tinggi.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H