Mantan presiden RI, Soeharto dikenal sebagai orang yang menganut sekaligus memelihara falsafah Jawa. Banyak pengamat politik berpendapat, berbagai manuver politik yang dilakukan Soeharto tak lepas dari filosofi Jawa yang dipegangnya seumur hidup. Salah satunya adalah filosofi dari peribahasa "mikul dhuwur mendhem jero."
Secara harfiah, peribahasa "mikul dhuwur mendhem jero" berarti memikul tinggi-tinggi, memendam dalam-dalam. Secara filosofi, peribahasa ini dimaknai mengangkat kebaikan orang tinggi-tinggi dan menyembunyikan kesalahan/keburukan orang.
Kisah Di Balik Filosofi Mikul Dhuwur Mendhem Jero yang dianut Soeharto
Falsafah "mikul ndhuwur mendhem jero" ini dipegang erat Soeharto tatkala Indonesia memasuki masa-masa kritis usai pemberontakan G30S/PKI. Saat itu, Indonesia di ambang kepiluan di mana situasi politik, ekonomi dan sosial begitu tidak stabil.
Mahasiswa bersama rakyat turun ke jalan menuntut pertanggungjawaban Soekarno. Soeharto, yang saat itu menjabat Panglima Kostrad dihadapkan pada pilihan yang sulit terkait posisi Presiden Soekarno. Beberapa fakta mengarah pada dugaan keterlibatan, atau setidaknya pembiaran Soekarno terhadap peristiwa paling berdarah dalam sejarah Indonesia.
Sebagai pemimpin tertinggi, Soekarno menyarankan beberapa gagasan sebagai jalan keluar kemelut dalam negeri yang kian mengerikan. Namun Soeharto tidak mengindahkan. Baik Soekarno maupun Soeharto punya perbedaan pandangan yang cukup tajam terkait peristiwa pemberontakan PKI.
Probosutedjo, adik tiri Soeharto mengungkapkan kisah di balik falsafah mikul dhuwur mendhem jero yang dianut Soeharto. Suatu ketika di saat suasana politik tanah air memanas, Soekarno memanggil Soeharto. Saat itu Soekarno masih ngotot tidak mau membubarkan PKI sebagaimana yang dituntut oleh mahasiswa dan rakyat.
"Har, saya ini sudah diakui sebagai pemimpin dunia. Konsep Nasakom sudah saya jual kepada bangsa-bangsa di dunia ini. Sekarang saya harus membubarkan PKI, di mana, Har, saya harus menyembunyikan muka saya," kata Soekarno.
"Pak, kalau masalahnya untuk konsumsi dunia luar, gampang, jadikan saya bumper, saya yang akan membubarkan PKI, bukan Bapak, tetapi ke dalam negeri Bapak harus ngegongi (menyetujui)," jawab Soeharto.
Namun Soekarno tetap bersikukuh. Soeharto yang tidak melihat jalan keluar lain selain membubarkan PKI kemudian membatasi gerak Soekarno. Hingga kemudian dalam sebuah kesempatan, Soekarno kembali memanggil Soeharto dan bertanya,
 "Har, jane aku iki arep kok apakke? (Har, sebenarnya aku ini akan kamu apakan?) Aku ini pemimpinmu."
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!