Segala sesuatu di tempat kerja adalah tentang persaingan. Promosi, pengakuan, reputasi, pencapaian target kerja. Ini semua muncul saat kita menonjol dari semua orang lain di sekitar kita.
Dan begitulah seharusnya.
Saya menyukai lingkungan kerja yang kompetitif. Saya suka bekerja dengan orang-orang yang ambisius dan termotivasi.Â
Jika ada rekan kerja yang kinerjanya lebih baik -- target penjualan tercapai bahkan lebih, proses kerja yang inovatif -- saya belajar banyak dari mereka untuk memotivasi diri saya sendiri agar bisa bekerja lebih baik, setidaknya menyamai apa yang sudah mereka capai.
Sekalipun kadang terbersit rasa iri, saya menganggap kesuksesan rekan kerja adalah kesuksesan saya.Â
Bagaimanapun, saya beranggapan menjadi bagian dari tim pemenang tak hanya memberi saya pengalaman belajar yang fantastis, tetapi juga dapat mencerminkan siapa diri saya di tempat kerja. Menjadi bagian dari tim yang sukses juga dapat meningkatkan nilai atau reputasi saya.Â
Favoritisme Memicu Lingkungan Kerja Beracun
Dunia persaingan kerja yang sehat itu indah. Dunia seperti ini adalah lingkungannya para pemenang dan orang-orang yang mau belajar. Sayangnya, lingkungan seperti ini kadang hanya berujud utopia.Â
Sedikit sekali perusahaan yang dapat menyajikan lingkungan kerja dengan iklim kompetisi yang sehat. Lebih banyak perusahaan yang lingkungan kerjanya beracun karena persaingan yang tidak sehat antar karyawan. Salah satu faktor utamanya adalah munculnya favoritisme.
Saat mengawali karir sebagai tenaga penjual (baca: Salesman), saya pernah berada di lingkungan kerja yang tidak nyaman akibat adanya favoritisme.
Jujur, saya pertama kali bekerja tidak melalui proses rekrutmen yang normal. Ketika itu saya dapat diterima karena direkomendasikan ayah teman saya yang jadi manajer di perusahaan tersebut. Â Sederhananya saya bisa bekerja karena nepotisme.