Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Awas, Favoritisme Memicu Lingkungan Kerja Beracun

24 Mei 2021   08:27 Diperbarui: 30 Mei 2021   09:00 1542
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Segala sesuatu di tempat kerja adalah tentang persaingan. Promosi, pengakuan, reputasi, pencapaian target kerja. Ini semua muncul saat kita menonjol dari semua orang lain di sekitar kita.

Dan begitulah seharusnya.

Saya menyukai lingkungan kerja yang kompetitif. Saya suka bekerja dengan orang-orang yang ambisius dan termotivasi. 

Jika ada rekan kerja yang kinerjanya lebih baik -- target penjualan tercapai bahkan lebih, proses kerja yang inovatif -- saya belajar banyak dari mereka untuk memotivasi diri saya sendiri agar bisa bekerja lebih baik, setidaknya menyamai apa yang sudah mereka capai.

Sekalipun kadang terbersit rasa iri, saya menganggap kesuksesan rekan kerja adalah kesuksesan saya. 

Bagaimanapun, saya beranggapan menjadi bagian dari tim pemenang tak hanya memberi saya pengalaman belajar yang fantastis, tetapi juga dapat mencerminkan siapa diri saya di tempat kerja. Menjadi bagian dari tim yang sukses juga dapat meningkatkan nilai atau reputasi saya. 

Favoritisme Memicu Lingkungan Kerja Beracun

Dunia persaingan kerja yang sehat itu indah. Dunia seperti ini adalah lingkungannya para pemenang dan orang-orang yang mau belajar. Sayangnya, lingkungan seperti ini kadang hanya berujud utopia. 

Sedikit sekali perusahaan yang dapat menyajikan lingkungan kerja dengan iklim kompetisi yang sehat. Lebih banyak perusahaan yang lingkungan kerjanya beracun karena persaingan yang tidak sehat antar karyawan. Salah satu faktor utamanya adalah munculnya favoritisme.

Saat mengawali karir sebagai tenaga penjual (baca: Salesman), saya pernah berada di lingkungan kerja yang tidak nyaman akibat adanya favoritisme.

Jujur, saya pertama kali bekerja tidak melalui proses rekrutmen yang normal. Ketika itu saya dapat diterima karena direkomendasikan ayah teman saya yang jadi manajer di perusahaan tersebut.  Sederhananya saya bisa bekerja karena nepotisme.

Biasanya, karyawan yang masuk karena rekomendasi orang yang punya kedudukan tinggi menjadi anak emas. 

Karyawan seperti ini diperlakukan dan dilayani dengan sebaik-baiknya. Kondisi yang muncul karena rasa tidak enak dengan orang yang merekomendasikan karyawan tersebut.

Namun hal ini tidak berlaku pada saya. Karena yang merekomendasikan saya itu manajer divisi lain, sementara saya bekerja di divisi penjualan, status anak emas tidak berlaku.

Sebaliknya, label karyawan bawaan menyebabkan saya dalam situasi yang sulit. Saya merasa terpinggirkan karena merasa rekan kerja dan manajer divisi ingin menjegal saya. Selain itu, status karyawan bawaan juga membuat saya merasa terbebani. Ada rasa malu apabila saya tidak bisa berprestasi.

Situasi bertambah sulit karena manajer saya punya karyawan favorit. Begitu pula dengan bagian-bagian support di tempat kerja saya. Mereka punya rekan-rekan kerja favorit masing-masing yang bisa diajak bekerja sama.

Misalnya ketika ada proyek pembukaan area pemasaran baru, yang pertama kali ditunjuk untuk berjualan di area basah tersebut sudah pasti si karyawan favorit. Sementara saya harus puas mengais sisa-sisanya.

Begitu pula ketika bagian customer service menerima telepon dari calon pelanggan, mereka selalu melemparkannya ke rekan-rekan favorit masing-masing untuk di-follow up lebih lanjut. 

Jadilah Joker di Lingkungan Kerja yang Beracun

Meskipun berat, kondisi ini malah memotivasi saya agar dapat menjadi Joker. Bukan memiliki karakter atau kepribadian seperti Joker, melainkan mengikuti saran dari salah satu kutipannya yang terkenal:

"Sebagian orang ingin melihatmu gagal. Kecewakan mereka."

Kecewakan mereka yang ingin melihatmu gagal di tempat kerja (CNBC Indonesia)
Kecewakan mereka yang ingin melihatmu gagal di tempat kerja (CNBC Indonesia)

Saya tak pernah memberi tahu apalagi mengeluhkan adanya favoritisme yang memicu persaingan tidak sehat di tempat kerja kepada ayah teman saya, sekalipun sebagai manajer yang lebih senior beliau bisa memberi masukan ke manajer saya. Saya ingin membuktikan bahwa tanpa menjadi favorit pun saya bisa berhasil.

Singkat cerita, saya akhirnya berhasil mencatatkan nilai penjualan tertinggi. Sungguh, itu merupakan salah satu momen paling berarti bagi saya karena prestasi itu dapat saya raih dengan bersih, tanpa bantuan dari pihak-pihak luar.

Meski begitu, prestasi yang saya capai masih membuat saya dipandang sebelah mata. Saya masih belum masuk dalam kelompok karyawan favorit yang berhak mendapatkan akses kemudahan, sekalipun saya sendiri tidak pernah berharap menjadi karyawan favorit.

Saya pun mulai merasa tidak betah. Bekerja di lingkungan seperti ini membuat karir saya berjalan di tempat. Akhirnya saya pun mulai mencari informasi lowongan kerja yang baru, sembari tetap bekerja sebaik-baiknya di tempat kerja saat itu.

Pada tahun ketiga, saya mendapat panggilan wawancara kerja dengan tawaran bekerja di luar pulau. Setelah berdiskusi dengan istri, saya akhirnya menerima pekerjaan tersebut. 

Waktu itu yang saya pikirkan adalah bagaimana secepatnya meninggalkan lingkungan kerja saya yang beracun itu, dan mengawali karir lagi di tempat yang baru.

***

Di lingkungan kerja, bisa jadi ada rekan yang merasa tersaingi. Bisa jadi ada kawan di lain departemen yang merasa terancam posisinya. Bisa jadi ada kawan baik yang terprovokasi sehingga melihat kita sebagai batu sandungan yang harus disingkirkan. 

Mereka semua menginginkan kita gagal. Lingkungan kerja kita jadi beracun, membuat kita merasa tidak nyaman hingga seringkali berujung pada terhambatnya karir dan prestasi kerja.

Kata Joker, "Disappoint them!" Kecewakan mereka dengan membuktikan bahwa kita bisa meretas jalan menuju kesuksesan.

Apabila kita sudah berprestasi namun masih juga dipandang sebelah mata, maka tinggal pilihan terakhir yang kita miliki: meninggalkan pekerjaan dan karir yang stagnan itu untuk kemudian mencari peluang dan kesempatan kerja yang lebih baik.

Ibarat kata selalu ada ikan lain di laut, hal yang sama berlaku di tempat kerja. Saat kita merasa lingkungan kerja beracun dan pekerjaan yang sekarang tidak mendukung perkembangan karir, carilah padang rumput yang lebih hijau.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun