Rasulullah Saw mengingatkan pada kita bahwa agama adalah hubungan sosial kemasyarakatan (ad diin al muamalah). Hadis ini menjadi pengingat bagi kita bahwa ibadah sosial lebih dikedepankan daripada ibadah individual.Â
Allah memberi ganjaran lebih besar untuk ibadah yang mengandung aspek sosial kemasyarakatan (horisontal) daripada ibadah yang bersifat individual (vertikal). Karena itu, salat berjamaah lebih tinggi nilainya dua puluh derajat daripada salat munfarid (sendirian), menurut riwayat yang sahih dalam hadis Bukhari dan Muslim.
Bila ibadah individual batal, maka tebusannya ialah melakukan sesuatu yang berhubungan dengan ibadah sosial. Contohnya, bila ada yang berhalangan puasa karena sebab syari, tebusannya adalah menunaikan fidyah, yaitu memberi makanan bagi orang miskin. Â
Namun sebaliknya, bila kita melanggar ibadah sosial, maka kita tidak bisa mengganti atau menutupinya dengan aspek ibadah individual. Siapa yang merampas hak orang lain tidak dapat menghapus dosanya dengan salat tahajud. Orang-orang yang melakukan kezaliman tidak serta merta hilang dosanya dengan hanya membaca zikir atau wirid seribu kali.
Dalam hadis lain Rasulullah juga mengingatkan kita bahwa agama adalah nasehat (ad diin al nasihah). Hadis ini dapat dimaknai bahwa setiap muslim hendaknya sadar masing-masing dari kita dapat melakukan kesalahan, dan oleh karena itu hendaknya kita dapat saling menasehati berdasarkan petunjuk agama.Â
Salah itu Manusiawi, Memaafkan itu Sifat Ilahi
Memaknai Idulfitri sama artinya dengan memaknai keberagaman (muamalah) yang terjadi di sekitar kita. Sekaligus memaknai fitrah kita sebagai manusia yang menjadi tempatnya salah dan lupa. Salah adalah manusiawi sedang maaf adalah sifat Ilahi. Itulah sebabnya tidak mudah bagi kita untuk meniru, apalagi mencapai kata maaf, meminta dan memberi maaf. Meskipun begitu, hendaknya setiap yang ber-Idulfitri harus sadar bahwa setiap orang dapat melakukan kesalahan; dan dari kesadarannya itu ia bersedia untuk memberi dan menerima maaf.Â
Menghapus kesalahan atau dosa terhadap orang lain tidak bisa dilakukan hanya dengan memohon ampun kepada Allah. Melainkan harus langsung meminta maaf kepada yang bersangkutan. Oleh sebab itu, setelah kita melakukan kesalahan, segerakan meminta maaf.
Pintu maaf itu kecil, sempit, rendah, perlu membungkuk (merendahkan tubuh) untuk memasukinya. Wajar apabila dalam kehidupan sehari-hari, tidak banyak dari kita yang bersedia membungkuk merendahkan tubuh untuk meminta maaf.
Rasulullah Saw memberi teladan kepada kita untuk selalu minta maaf ketika bersalah. Bahkan terhadap Ibnu Ummi Maktum, beliau memeluknya dengan hangat seraya berkata "Inilah orangnya, yang membuat aku ditegur oleh Allah... (QS. Abasa)".
Begitu pula bila kita pernah mendapat kezaliman dari teman atau orang lain, jangan menutup rapat pintu maaf dan di satu sisi membuka lebar pintu dendam. Hidup jika tertanam dendam, tidak akan ada habis-habisnya. Karena dendam ibarat duri didalam daging, ia akan membawa luka mendalam dan menyebabkan busuk bernanah, jika tidak cepat dibuang. Ingatlah bahwa dendam akan membuat jiwa menjadi hina, sedangkan memaafkan akan membuat jiwa menjadi mulia.
"Tidaklah Allah menambah kepada seorang hamba dengan sikap memaafkan melainkan dengan kemuliaan" (HR Muslim).
Memaafkan dan Berlapang dada, Syarat Memperoleh Ampunan Allah Swt
Setelah menempa diri dalam menghadapi segala cobaan hawa nafsu di bulan Ramadan, maka pada Idulfitri ini tibalah saatnya kita melengkapi syarat untuk mendapatkan anugerah ampunan dari Allah, yakni dengan wal-ya'fu dan wal-yashfakhu; memaafkan dan berlapang dada. Allah berfirman,
"...dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin Allah mengampunimu? Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang."" (QS An-Nur: 22).
Memaafkan adalah melupakan kesalahan orang lain dan menghapus bekas-bekas kesalahannya di hati. Setelah memaafkan kita diminta untuk berlapang dada, mampu menampung segala ketersinggungan serta dapat pula menutup lembaran lama dan membuka lembaran baru.
Mungkin ada satu dua titik yang sulit bersih pada lembaran yang salah, walaupun kesalahannya telah kita hapus. Â Karenanya, bukalah lembaran baru, tutup lembaran lama, dan wujudkan sikap ihsan, derajat tertinggi dalam tingkat ketakwaan seorang muslim. Inilah hal-hal yang paling disukai Allah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H