Masyarakat Bali, khususnya yang beragama Hindu identik dengan kuliner berbahan daging babi. Rasanya kurang afdhol jika dalam perjamuan makan tidak ada menu lawar babi, sate babi hingga babi guling yang dihidangkan dan dinikmati bersama.
Meski begitu, ada satu kenyataan yang membuat saya angkat topi dan menghormati dengan rasa tulus akan sikap toleransi mereka terkait hidangan yang mereka sajikan kepada kawan-kawan non-Hindu, terutama yang beragama Islam. Jika ada kawan muslim ikut dalam perjamuan makan, mereka selalu memilihkan makanan yang tidak mengandung babi!
Di Bali, saya punya teman akrab dari kalangan bangsawan puri. Suatu ketika kawan saya ini mengundang saya dan teman-teman satu kantor yang muslim untuk hadir di pernikahannya. Sempat ada kekhawatiran dari kawan seagama, bagaimana nanti bila kita diminta ikut menikmati hidangan yang disajikan tuan rumah? Karena, yah sebagaimana yang sudah saya jelaskan di atas, setiap ada perjamuan makan di rumah orang Bali, selalu ada hidangan dari daging babi.
Namun setelah kami menghadiri undangan teman kami tersebut, apa yang kami khawatirkan tidak terjadi. Dengan bijak, teman saya yang Hindu itu menyisihkan makanan khusus untuk rekan-rekannya yang non-Hindu.
"Ayo, makannya nanti di sini ya. Biar gak campur dengan yang biasa," kata teman saya setelah kami datang ke acara pernikahannya. Maksudnya yang biasa adalah hidangan bercampur daging babi. Ternyata, teman saya tersebut sengaja membuat hidangan khusus yang halal, yang tidak tercampur dengan bahan-bahan yang diharamkan agama Islam.
Apa yang dilakukan teman saya tersebut menunjukkan bahwa sebenarnya masyarakat kita sudah sangat paham akan arti toleransi. Maka, sungguh ironis apabila pemimpin tertinggi negara yang katanya mayoritas muslim malah terlihat mempromosikan kuliner bipang (babi panggang) pada momen perayaan hari raya umat Islam.
Memang benar, konteks yang disajikan presiden pada saat itu adalah momen mudik. Beberapa pihak mengklaim tradisi mudik saat ini tidak lagi identik dengan umat Islam saja, namun sudah menjadi tradisi dan hak milik masyarakat Indonesia semua agama. Di saat libur hari raya Idulfitri, mudik tidak hanya berlaku bagi kaum muslim, juga buat umat beragama lainnya.
Meskipun begitu, tetap saja rasanya sangat janggal. Apalagi pidato tersebut disampaikan saat umat Islam masih menjalankan ibadah puasa. Semestinya presiden atau staf yang menyusun pidato tersebut lebih memiliki empati dan toleransi.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H