Gembira sekali rasanya bisa mudik, bisa bertemu sanak saudara di kampung halaman. Apalagi jika bekalnya berlebih, bisa dibagi-bagi ke saudara dan tetangga.
Eh, jika mudik ke kampung halaman di dunia aja rasanya senang dan gembira, terus bagaimana jika kita mudik ke kampung halaman kita yang sesungguhnya di akhirat sana?
Apakah ada rasa senang dan gembira pula?
Alih-alih gembira, kita selalu sedih jika ada teman dan kerabat yang lebih dulu berangkat mudik ke kampung halaman nan abadi. Kita mengantar mereka ke tempat peristirahatan terakhir dengan kesedihan dan kemurungan.
Bahkan ada yang tak rela sampai menggugat Tuhannya, mengapa mereka dipanggil dan berangkat duluan. Kepulangan sanak saudara ke hadirat-Nya dianggap musibah terbesar.
Mudik ke kampung dunia bisa kita jadwalkan. Kapan harinya, minggu, bulan atau tahunnya. Naik kereta, pesawat atau membawa kendaraan pribadi.
Beda halnya dengan mudik ke kampung akhirat. Kita tidak bisa menjadwalkan waktu mudiknya. Sewaktu-waktu, di mana saja dan dalam kondisi apa pun, kita bisa tiba-tiba dipanggil untuk segera mudik.
Kendaraannya pun hanya satu: kotak persegi berukuran 2x1 meter tanpa roda.
Nah, jika untuk mudik ke kampung dunia yang bisa kita jadwalkan, kita mati-matian mencari bekal, bagaimana dengan persiapan mudik kita ke kampung akhirat yang tidak terjadwal? Apakah mati-matian pula mencari bekalnya?
Jika mudik ke kampung dunia saja kita butuh petunjuk dan arah perjalanan, bagaimana dengan ketika kita mudik ke kampung akhirat? Sudahkah kita mengikuti petunjuk dan arah jalannya?
Jangan sampai kita terlalu gembira mudik ke kampung dunia, sementara kita malah lupa bahwa kita nanti PASTI AKAN MUDIK KE KAMPUNG AKHIRAT.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H