Begitulah, usai salat tarawih, beberapa anak sudah melepas sarung yang semula mereka kenakan. Ujungnya diikat menyerupai gulungan, gunanya untuk memukul lawan.
Setelah menyiapkan perlengkapan perang, kami pun berangkat ke medan perang sarung. Lokasinya tak jauh dari masjid, di perempatan jalan utama kampung, tepat di depan pos ronda.
Lawan yang ditunggu pun datang. Tidak seperti tawuran yang dilakukan beramai-ramai, perang sarung di kampungku dilakukan satu lawan satu.
Biasanya, anak yang paling berani (dan paling nakal) akan maju duluan dan menantang pihak lawan. Setelah saling ejek, aksi gebuk-gebukan menggunakan sarung berbonggol berlangsung seru.
Anak yang menyerah setelah terkena beberapa pukulan sarung biasanya menyingkir ke belakang barisan, digantikan anak-anak yang lain. Begitu seterusnya. Setelah semua anak kebagian lawan, perang sarung pun berakhir dan kami kembali ke markas, eh masjid untuk menyusun strategi perang sarung berikutnya.
***
Seru kan nostalgia suasana Ramadan masa kecilku? Seandainya waktu bisa berputar kembali, tentulah aku dan juga orang lain seusiaku ingin kembali ke masa anak-anak, sekedar mengulang dan menikmati betapa indahnya suasana Ramadan saat itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H