"Kalau tidak mau berisik, nonton saja pertandingan catur"
Komentar itu dikeluarkan seorang warganet menanggapi viralnya tagar Gerakan Mute Massal. Tagar ini memang secara khusus ditujukan pada Valentino Simanjuntak, komentator sepakbola Indonesia yang dikenal dengan gaya komentarnya yang lebay.
Sebenarnya yang dikehendaki pencetus tagar Gerakan Mute Massal itu adalah agar Bung Valentino dan komentator sepakbola Indonesia lainnya tidak terlalu lebay dalam memberikan komentarnya. Seperti yang tersirat dari pesan yang mengiringi tagar tersebut:
"Karena sejatinya penikmat sepakbola juga butuh edukasi, bukan pendengar teriakan yang menimbulkan polusi."
Sepertinya penonton sepakbola di Indonesia belum memahami betul aturan maun seorang komentator olahraga, terutama sepakbola. Sejatinya, komentator sepakbola memang harus berisik. Namun, kebisingan yang ditimbulkan diharapkan dapat mengedukasi pemirsa.
Kalau kalian pernah menonton cuplikan pertandingan sepakbola yang disiarkan stasiun-stasiun televisi dari negara-negara Arab atau Amerika Latin, kalian akan mengerti mengapa komentator sepakbola harus berisik dan bagaimana seni mengomentari pertandingan sepakbola.
"Gol gol gol gol gol gol goooooooollllllllll......"
Untuk mengomentari proses terjadinya gol saja, seorang komentator sampai mengucapkan puluhan kali kata gol. Itu hanya satu contoh betapa berisiknya komentator sepakbola di negara-negara Arab dan Amerika Latin.Â
Lain halnya dengan komentator dari negara asal sepakbola, Inggris. Mereka terkesan lebih kalem dan bersahaja. Saat ada gol tercipta, mereka cukup berkata, "....and goooool, assist from Bruno Fernandez to Marcus Rashford...."
Selain itu, komentator di Inggris sering mengedukasi pemirsa perihal seluk beluk pertandingannya. Mulai dari sejarah pertemuan dua tim yang sedang bertanding, rekor-rekor tertentu, statistik pemain dan hal-hal lainnya yang masih ada hubungannya dengan pertandingan yang dikomentari.
Ini semua tak lepas dari kultur sepakbola Inggris yang sudah sepenuhnya profesional. Ketika sepakbola sudah menjadi industri profesional, otomatis kultur suporternya pun akan mengikuti. Atas nama profesionalitas pula komentator di Inggris nyaris tak pernah lebay.
Akan halnya di Indonesia, sepakbola kita masih sebatas jadi sarana hiburan semata. Maka alih-alih mengedukasi pemirsa dengan pengetahuan seputar sepakbola atau tim yang bertanding, komentatornya menghibur pemirsa. Jadi, jangan salahkan komentator jika kemudian muncul istilah-istilah alay seperti jebret, ahay dan lain sebagainya. Bukankah tujuan siaran (dan pertandingan) sepakbola di negara kita memang untuk menghibur pemirsa?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H