Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Menggugat Aturan Plagiarisme Kompasiana dengan Teori Repetisi dan Orisinalitas

6 April 2021   07:25 Diperbarui: 6 April 2021   07:46 471
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ingat enggak saat ibu kita dulu mengajarkan nama-nama benda atau bahasa untuk berkomunikasi?

Ibu selalu mengucapkan kata-kata yang sama, berulang kali.

Begitu pula ketika ibu memberi perintah atau larangan:

"Adik, jangan main gim terus!"

"Iya, Bu," jawab si kecil.

Sepuluh menit kemudian,

"Adik, sudah dibilang jangan main gim terus, nanti matanya sakit loh."

Dua puluh menit kemudian,

"Adik, taruh handphonenya sekarang juga!"

Apa tujuan ibu mengulang-ulang perintah atau pengucapan kata-kata tertentu?

Cuma satu: supaya kita mudah memahami dan cepat mengerti.

Dalam mengajarkan bahasa sebagai alat komunikasi, seorang ibu mendikte anaknya dengan mengulang-ulang (repetisi). Hakikatnya, otak kita semakin mudah memahami dan menghafal apabila segala informasi yang ditangkap otak kita diulang terus menerus.

Coba ingat pula saat kita masih sekolah dulu, guru kita sering mengulangi materi pelajaran. Tujuannya juga satu: agar murid-muridnya cepat paham.

Pengulangan atau repetisi adalah bagian yang tidak terelakkan dari sebuah penciptaan dan kreativitas. Dalam setiap pengulangan, kita tidak mengulang secara tepat perintah atau informasi yang pertama. Kita hanya mengambil intinya, kemudian mengolahnya kembali dalam bentuk yang berbeda.

***

Kemarin (05/04), salah satu artikel saya dihapus admin Kompasiana. Alasannya melanggar aturan tentang penayangan konten:

Sesuai ketentuan Kompasiana, kami menghapus postingan Anda yang berjudul "Cara Paling Radikal Agar Bisa Move on dari Mantan" karena menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan konten yang sudah ditayangkan di Kompasiana, dengan atau tanpa menghapus konten sebelumnya.

Pengguna tidak diizinkan untuk mengunggah kembali sebagian atau keseluruhan kontennya untuk menghindari tindakan spamming yang diakibatkan oleh konten yang tayang berulang di Kompasiana.

Menayangkan ulang artikel lama jelas melanggar aturan karena seperti yang dikatakan Kompasiana, hal ini dikategorikan tindakan spamming. Tapi mengutip sebagian artikel milik sendiri dan menayangkannya kembali dengan sudut pandang yang baru, bukan termasuk pelanggaran. Melainkan kreativitas.

Artikel berjudul Cara Paling Radikal Agar Bisa Move on dari Mantan saya tulis dengan mengambil atau mengutip sebagian isi artikel yang pernah kutulis sebelumnya, yakni:

Hanya beberapa paragraf saja yang saya kutip, yang porsinya mungkin tidak lebih dari separuh (sebahagian). Itu pun saya memberi tautan ke artikel aslinya. Selebihnya adalah muatan baru, meskipun temanya tidak jauh berbeda: Mantan dan Move On

Lantas, di mana letak kesalahannya?

Plagiat Haram, Repetisi Halal

Dalam dunia penulisan ada istilah swaplagiat atau self-plagiarism. Porsinya, jika merujuk standar penulisan ilmiah, minimal 35%.

Mengutip pendapat pribadi sama hukumnya dengan mengutip pendapat orang lain.

Persoalannya, apakah pengelola memahami kaidah self-plagiarism? Entahlah.

Sebahagian itu sepadan dengan separuh. Lebih detail lagi, setengah. Jika dipersentasekan, separuh berarti 50%. Itu berbeda dengan mengutip pendapat pribadi. Bukan juga swaplagiat.

Ketentuan ini mesti ada perincian turunannya. Jika tidak, otiritarianisme muncul. Penulis akan kehilangan "ghiroh". Sederhananya, pupus gairah. -- Khrisna Pabhicara dalam komentarnya di grup WhatsApp Kompasianer Berbalas. 

Saya tak hendak membela diri. Tapi memang benar ada yang salah dengan konteks dan bunyi redaksi aturan Kompasiana tersebut. Seperti yang dikatakan Daeng Khrisna, apakah pengelola (Kompasiana) memahami kaidah self-plagiarism?

Di luar itu, penggunaan kata "sebagian" dalam redaksi aturan tersebut juga membingungkan. Kata "sebagian" bersifat ambigu atau multitafsir. Ada yang mengartikan separuh atau setengah, bisa pula berarti "bagian dari isi", berapa pun porsinya.

Jika Kompasiana melarang penulisnya mengunggah kembali sebagian konten yang sudah ditayangkan Kompasiana, itu sama artinya Kompasiana membunuh kreativitas penulisnya. Karena di dunia ini, tidak ada yang orisinal. Semua karya kreatif yang dibuat seniman, setiap penemuan yang diciptakan ilmuwan merupakan pengulangan atau repetisi dari ide atau karya kreatif yang sudah ada sebelumnya. 

Teori Pemikiran Murni

Mark Twain, penulis buku legendaris The Adventures of Tom Sawyer berpendapat bahwa tidak ada yang namanya "ide baru". Dia menganggapnya mustahil. Menurut Twain, kita hanya memegang beberapa ide yang ada sebelumnya dan memasukkannya ke dalam semacam kaleidoskop mental.

Mark Twain menggunakan analogi kaleidoskop karena pada dasarnya pola pikir manusia memang seperti kaleidoskop. Kita terus memutar kaleidoskop yang kemudian menghasilkan kombinasi (ide atau pemikiran) baru. Namun seperti yang dikeluhkan Mark Twain dalam otobiografinya, "mereka adalah pecahan kaca berwarna lama yang telah digunakan selama berabad-abad".

Mark Twain bukan satu-satunya yang menolak orisinalitas murni: bahwa tidak ada pemikiran baru, bahwa segala sesuatu yang layak dipikirkan telah dipikirkan sebelumnya. Setiap buku yang ditulis, setiap lagu yang dinyanyikan, adalah produk dari pemikiran dan gagasan lama.

Jauh sebelum Mark Twain mengemukakan pendapatnya tentang ide murni, Rene Descartes sudah meletakkan dasar teori pemikiran asli melalui ungkapannya yang terkenal, "cogito ergo sum". Ungkapan ini menyajikan gagasan bahwa keberadaan kita terkait dengan kemampuan kita untuk berpikir. Di sini kita bisa bertanya pada diri sendiri, meskipun pikiran itulah yang mendefinisikan kita sebagai manusia, apa dasar dari pemikiran asli kita? Dari mana datangnya pemicu ide atau pemikiran tersebut?

Setiap Ide datang dari Ide Sebelumnya

David Hume pernah berkata bahwa semua ide hanyalah salinan ekspresi. Semua ide telah dipelajari sebagai hasil dari pengalaman kita sebelumnya.

Artinya, ide-ide ini datang dari suatu tempat, atau pasti ada sesuatu yang memicunya. Mereka pasti punya asal. Serupa dengan prinsip kausalitas universal, yang menyatakan bahwa setiap fakta adalah hasil atau kelanjutan dari fakta yang sudah ada sebelumnya.

Manusia adalah gabungan dari kecerdasan, gen, dan pengalaman mereka. Contoh paling sederhana adalah ketika seorang anak belajar bagaimana menjadi manusia, bagaimana menggunakan bahasa, bagaimana berjalan, bagaimana eksis sebagai laki-laki atau perempuan. Anak ini bisa melakukan hal-hal tersebut karena kecerdasan dalam belajar dan pengalamannya mengamati sesuatu yang diulang-ulang (repetisi).

Jadi, apa artinya ini bagi kita dalam dunia kreativitas?

Karena semuanya telah diajarkan, apakah kita berhenti mengejar celah-celah yang belum ditemukan?

Tidak harus demikian. Hanya karena sebuah ide telah ada dan dieksplorasi sebelumnya, tidak berarti perspektif kita tentang ide itu tidak berharga. Hanya karena kita sudah menciptakan karya kreatif, bukan berarti kita tidak bisa menciptakan karya kreatif baru dengan tema yang sama, namun dalam perspektif yang berbeda. 

"Apa yang dipahami oleh seorang seniman yang baik adalah bahwa tidak ada yang datang entah dari mana. Semua karya kreatif dibangun berdasarkan apa yang terjadi sebelumnya. Tidak ada yang sepenuhnya asli" - Austin Kleon dalam Steal Like an Artist

Orisinalitas mungkin hanya mitos, tetapi cara orisinal untuk mengekspresikan ide atau pikiran masih ada. Sentuhan pribadi kita atas ide atau pemikiran lama itulah yang kemudian menghasilkan sesuatu yang otentik. Seperti yang dikatakan Helena Hegeman, "Tidak ada yang namanya orisinalitas, yang ada hanya keotentikan/keaslian".

***

Kembali pada narasi redaksional aturan Kompasiana, semestinya kata sebagian itu dihapus. Yang dilarang adalah menayangkan ulang keseluruhan konten yang sudah ditayangkan Kompasiana tanpa mengubah apa pun. Baik judul maupun bagian isinya. Ini baru namanya plagiarisme.

Kalau hanya mengutip sebagian isi artikel lama, apalagi itu artikel milik sendiri, namanya bukan plagiarisme, atau swaplagiat seperti yang dikatakan Daeng Khrisna Pabichara. Melainkan proses kreatif dalam perspektif yang berbeda. 

Sebagai penulis, dunia memberi kita pasokan topik potensial yang tak terbatas. Sayangnya, kita tidak bisa menjadi ahli dalam semua hal. Makanya, cara paling mudah untuk tetap menulis meski pikiran kita buntu dan tidak menemukan ide baru adalah dengan mendaur ulang tema-tema tulisan lama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun