Marah Membuat Kita Gila Sesaat
Marah adalah tabiat alami sekaligus emosi manusia yang sangat umum. Filsuf Romawi kuno, Seneca menyebut marah adalah kegilaan singkat di mana kita kehilangan akal dan karenanya sering melakukan hal-hal yang kita sesali kemudian.
"Beberapa orang yang paling bijak menyebut kemarahan sebagai kegilaan singkat: karena kemarahan sama-sama tidak memiliki kendali diri, terlepas dari kesopanan, melupakan hubungan kekerabatan, dengan teguh asyik pada apa pun yang mulai dilakukannya, tuli pada akal dan nasihat, bersemangat oleh sebab-sebab yang sepele , canggung dalam memahami apa yang benar dan adil, dan sangat seperti batu yang jatuh yang pecah sendiri berkeping-keping di atas benda yang dihancurkannya. " - Seneca
Dalam Islam, marah adalah pokok kejahatan. Seperti yang dikatakan Seneca dua milenium lalu, orang yang marah itu gila sesaat. Akal pikirannya hilang hingga ia berkenan melakukan berbagai perbuatan yang dilarang dan diharamkan agama.
Orang yang tidak bisa mengendalikan emosi dan amarahnya bisa memukul, mencaci, mengeluarkan kata-kata kotor, menyiksa orang atau makhluk hidup lain, menyakiti orang lain, hingga dengan ringan tangan bisa membunuh. Berbagai bentuk kezaliman dan permusuhan berkumpul jadi satu dalam rasa marah yang tidak terkendali.Â
Teknik Jarak untuk Mengendalikan Amarah, Dari Kaisar Augustus Hingga Abraham Lincoln
Setiap orang bijak hingga para pemimpin paling sukses dalam sejarah, menggunakan teknik serupa untuk mengendalikan marah sekaligus menenangkan diri.Â
Dari jaman Romawi hingga cara yang Islami, untuk mencegah amarah yang membuat seseorang bertindak tidak rasional, kuncinya adalah tetap tenang, dan melakukan sesuatu dengan baik.
Kaisar Augustus, pendiri Kekaisaran Romawi, punya cara yang unik untuk meredam amarah. Setiap kali Kaisar Augustus marah, penasihatnya, filsuf Athenodorus mendesaknya untuk memeriksa semua huruf dalam alfabet sebelum menjawab atau melakukan sesuatu.
"Setiap kali Anda marah, Caesar, jangan katakan atau lakukan apa pun sebelum mengulangi ke diri Anda sendiri dua puluh empat huruf alfabet." -- Athenodorus
Athenodorus menyarankan teknik ini untuk memastikan bahwa Kaisar Augustus dapat tenang dan melakukan sesuatu dengan kepala dingin.
Presiden Amerika Serikat yang menghapus perbudakan di negeri itu, Abraham Lincoln, juga menerapkan teknik yang sama. Namun alih-alih mengucapkan setiap huruf alfabet, Abraham Lincoln memilih untuk menulis!
Setiap kali merasa marah, Abraham Lincoln membuka kertas kosong dan menuliskan semua perasaan yang dialaminya saat itu. Abraham Lincoln menumpahkan dan melampiaskan semua frustrasinya dalam lembaran-lembaran kertas kosong.
Setelah menuliskannya, Lincoln membacanya sebentar, lalu memasukkan kertas berisi tulisan frustasinya itu di laci dan menguncinya. Setelah beberapa jam berlalu, Lincoln membuka laci, mengeluarkan surat dan membaca apa yang sudah ia tulis beberapa saat sebelumnya.
Dalam waktu yang dihabiskan untuk menunggu antara menulis surat, dan kemudian membacanya, Abraham Lincoln menemukan dirinya sudah kembali tenang. Dengan cara itu dia bisa "memperhatikan masalah dengan mata yang lebih jernih".
"Setiap orang bangga dengan apa yang dia lakukan dengan baik; dan tidak ada orang yang bangga dengan apa yang tidak dilakukannya dengan baik. " - Abraham Lincoln
Kedua cara yang dilakukan Kaisar Augustus dan Abraham Lincoln ini adalah contoh cara mengendalikan marah dengan teknik jarak. Hal ini dapat dilakukan dengan beberapa cara, baik melalui waktu, fisik, maupun mental. Lincoln menggunakan jarak waktu, Augustus lebih suka menjaga jarak mental.Â
Tuntunan Islam dalam Mengendalikan Amarah
Ajaran Islam juga punya teknik yang serupa. Rasulullah SAW mengajarkan ummatnya untuk mengendalikan amarah dalam sebuah nasehat singkat pada sahabat Abu Darda r.a, "Jangan engkau marah, maka bagimu surga" (HR. Thabrani).
Banyak hadis Rasulullah SAW yang memberi kita petunjuk bagaimana mengatasi dan mengendalikan rasa marah, dengan teknik jarak, di antaranya adalah:
"Jika salah seorang di antara kalian marah, diamlah." (HR. Ahmad).
Wujud dari rasa marah itu keluar dalam bentuk ucapan atau perbuatan. Bila seseorang marah, keluarlah ucapan kotor, makian, ujaran kebencian dan perkataan lain yang tidak diridhai Allah.
Bahkan tak jarang pula pada orang yang marah tersebut keluar ucapan yang mengarah pada kekufuran. Kalau seseorang memaksa dirinya untuk diam ketika akan marah, hal-hal yang rusak tadi tidak akan terjadi.
"Bila salah satu di antara kalian marah saat berdiri, maka duduklah. Jika marahnya telah hilang (maka sudah cukup). Namun jika tidak lenyap pula maka berbaringlah." (HR. Abu Daud, no. 4782).
Rasa marah yang timbul menyebabkan aliran darah dalam tubuh mengalir kencang dan cepat. Jika kita perhatikan bagaimana rupa orang marah, akan terlihat matanya memerah dan urat-uratnya menegang hingga. Tak salah apabila Nabi SAW menasehatkan kita untuk berganti posisi apabila rasa marah mulai timbul.
Dengan berganti atau berpindah posisi, kita bisa mengendorkan urat-urat yang tadinya menegang sehingga aliran darah dalam tubuh kembali mengalir normal dan rasa marah pun perlahan akan mereda.
Sebuah studi ilmiah telah menunjukkan bahwa menciptakan jarak dapat mendinginkan reaksi yang berpotensi agresif. Dominik Mischkowski, yang memimpin penelitian tersebut, membenarkan bahwa kunci untuk mengelola amarah Anda adalah dengan melepaskan diri dari situasi tersebut.
"Rahasianya adalah untuk tidak tenggelam dalam amarah Anda sendiri dan, sebaliknya, memiliki pandangan yang lebih terpisah."
Apa pun teknik yang kita gunakan untuk mengendalikan amarah, semuanya itu menunjukkan kedewasaan sikap kita. Alih-alih membiarkan tenggelam dalam amarah, kita memilih untuk mengendalikannya dan membuat diri kita dapat bertindak lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H