Ada seorang teman saya yang sering gonta-ganti pekerjaan. Seperti kutu loncat saja, dia mudah berhenti dan mudah pula mendapat pekerjaan baru sebagai pengganti.
Ketika saya tanya mengapa dia sering pindah perusahaan, alasannya klasik, "Bosan!"
Di luar alasannya tersebut, terus terang saya kagum dengan semangatnya untuk meraih apa yang dia impikan. Dan mungkin sudah menjadi garis nasibnya, teman saya itu mudah diterima di berbagai perusahaan.
***
Kebosanan dan iri hati memang naluri alami dari manusia. Kita sering merasa tidak puas dengan apa yang selalu kita lakukan, atau apa yang sudah kita raih selama ini. Terlebih lagi, era digital telah memperburuk naluri ini ke tingkat yang hampir tidak sehat bagi mental kita.
Pekerjaan yang selalu berulang, dengan gaji yang itu-itu juga. Apa yang kita lakukan hari ini rasanya sama dengan kemarin. Kita seperti terkungkung dalam kotak pengalaman harian yang sempit. Sampai kebosanan itu melanda.
Kemudian, ada celah dalam kotak pengalaman harian kita. Berkat celah itu, kita bisa melihat keluar kotak, dan terpampanglah di depan mata kita bentuk kehidupan yang ajaib, yang membuat kita heran, yang membuat kita iri dan ingin meraihnya.
Seketika itu, kita merasa kotak pengalaman harian kita sudah tidak layak huni. Kita merasa pekerjaan kita begitu buruk dan tidak sanggup memenuhi apa yang kita inginkan.
Benarkah pekerjaan kita begitu buruk dan tidak layak? Benarkah apa yang sudah kita raih selama ini belum mencukupi kebutuhan kita?
Orang dengan Pekerjaan Terburuk di Dunia
Beberapa tahun lalu, seorang pria di Dhaka, Bangladesh menjadi pusat perhatian orang sedunia. Bukan karena prestasinya, bukan karena kesuksesannya, bukan karena kekayaan atau keberhasilan-keberhasilannya yang lain. Melainkan karena pekerjaannya yang dianggap "pekerjaan paling buruk sedunia." Situs Dailymail memberi tajuk berita "The man with the worst job in the world".
Tahu apa yang menjadi sumber penghasilannya sehari-hari?
Membersihkan kotoran manusia!
Dalam arti harfiah, bukan kiasan.
Foto di atas menunjukkan pria itu terbenam dalam lubang selokan berisi limbah kotoran manusia, telanjang dari pinggang ke atas. Tidak ada kacamata, tidak ada sarung tangan, tidak ada alat pelindung apa pun. Hanya sebuah tongkat kayu yang dipegang rekannya untuk menariknya keluar dari lubang selokan setelah pekerjaannya selesai.
Pria ini tidak pernah mengeluh saat bekerja. Kalau dia mengeluh dan membuka mulut saat bekerja, yah bisa kita bayangkan sendiri apa akibatnya.
Sementara itu pada saat yang sama, kita duduk di kursi kantor yang nyaman yang dapat disesuaikan ketinggian dan ergonomisnya. Di atas meja di sebelah laptop, tersedia secangkir kopi hangat. Di ujung dinding kantor, AC menyala mengalirkan udara sejuk.
Dengan kondisi seperti ini, pikiran kita meneriakkan kebosanan dan iri hati.
"Ugh, coba kalau saya bisa bekerja di kantor A yang suasananya lebih nyaman dan gajinya lebih besar."
"Mengapa saya memiliki pimpinan yang ***** seperti Pak Joko ini sih?"
"Ah, seandainya saya bisa kaya tanpa harus jadi sales yang menjual ini itu."
Syukuri Pekerjaan yang Kita Lakukan Saat Ini
Selama lebih dari 15 tahun, pekerjaan saya adalah salesman. Mulai dari menjual alat-alat rumah tangga door to door, menjual layanan internet kabel hingga kemudian memimpin tim penjualan di sebuah agensi periklanan besar. Selama itu pula tak terhitung berapa kali saya mencoba mengadu nasib, mencari pekerjaan yang saya pikir lebih baik dan lebih layak serta dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan saya. Selama itu pula saya selalu iri dengan teman-teman yang pekerjaannya saya anggap lebih baik.
Sekalipun saya tidak menyukai, ternyata pekerjaan yang saya jalani mampu memberikan kenyamanan tersendiri. Saya bisa membuat kopi sendiri di pantry kantor. Saya punya akses internet untuk memuaskan dahaga pengetahuan. Dan yang lebih penting lagi, saya punya sumber nafkah yang bisa mencukupi kebutuhan hidup keluarga sehari-hari.
Saat ini, menjadi tenaga penjual mungkin jenis pekerjaan yang paling sering dihindari. Tak ada fresh graduate yang berkeinginan menjadi salesman. Tapi, tetap saja ini adalah jenis pekerjaan, yang beribu kali lebih baik daripada apa yang dilakukan pria di Dhaka, Bangladesh.
"Perlakukan apa yang tidak kamu miliki sebagai ketiadaan. Lihatlah apa yang kamu miliki, hal-hal yang paling kamu hargai, dan pikirkan seberapa besar kamu menginginkannya jika kamu tidak memilikinya saat ini." -- Marcus Aurelius
Di dunia media sosial, hampir mustahil untuk tidak membandingkan diri kita dengan orang lain. Tetapi ingat, apa yang mereka tunjukkan di linimasa media sosial hanyalah sesuatu  yang mereka inginkan kita lihat.
Jika kamu sering merasa iri dengan apa yang dimiliki orang lain, ubahlah pikiranmu. Luangkan waktu menulis apa yang bisa kamu syukuri. Berfokuslah pada apa yang kamu miliki, sekecil apa pun itu.Â
Kesuksesan Orang Lain Tidak Memengaruhi Kehidupan Kita
Ketika orang lain punya pekerjaan yang gajinya fantastis, itu tidak memengaruhi hidup kita. Ketika ada teman yang menemukan jodoh lebih cantik atau lebih tampan, itu tidak masalah karena toh kita sudah punya belahan jiwa sendiri.
Setiap kesuksesan yang sudah diraih orang lain tidak akan memengaruhi linimasa kehidupan kita. Setiap keberhasilan yang didapatkan orang lain tidak menjadi masalah bagi diri kita, karena kesuksesan dan keberhasilan itu tidak diambil dari kita.
Apa yang kita lihat dari kesuksesan dan keberhasilan orang lain itu adalah sebuah cara dari Tuhan untuk menunjukkan pada kita, bahwa sangat mungkin sekali bagi kita untuk menemukan kesuksesan dan keberhasilan yang sama.
Kita tidak harus bersaing untuk mendapatkan sinar matahari. Setiap orang mendapat sinar dari sumber yang sama, dengan satu dan lain cara. Begitu pula dengan hidup, dalam satu bidang pekerjaan yang sama, ada banyak orang yang bisa bersinar.
Semua orang pasti ingin sukses, atau mencapai tahap yang bisa diraih orang lain yang dikagumi. Tapi bukan berarti itu membuat kita berkeinginan untuk bertukar tubuh atau bertukar peran. Kita memang tak bisa memilih terlahir seperti apa, tapi kita bisa memilih untuk menjadi hebat dengan apa yang kita miliki sekarang.
Kurangi mengeluh, perbanyak bersyukur. Dengan begitu, pikiran kita akan beralih dari kelangkaan ke kelimpahan. Kita akan bisa menemukan kepuasan yang lebih besar dalam semua kesenangan hidup yang telah kita lupakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H