Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Apakah Hanya Koruptor yang Tidak Radikal?

18 Februari 2021   07:14 Diperbarui: 18 Februari 2021   07:28 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Para koruptor tidak pernah mendapat stempel radikal dari buzzer pemerintah (ilustrasi diolah pribadi)

Sampai sekarang saya masih bingung, apa definisi sebenarnya dari kata 'radikal' atau 'radikalisme' di negeri ini?

Kata ini seolah begitu menakutkan bagi penguasa dan pendukungnya, sehingga dengan mudahnya disematkan ke siapa pun yang dianggap berseberangan dengan arus utama.

Radikal, dan kata turunannya 'radikalisme' juga menjadi senjata ampuh bagi pemerintah untuk membatasi ruang gerak dan hak asasi rakyat. Dengan kekuasaannya, pemerintah bisa memberikan definisi "semau gue" tentang apa dan siapa saja yang terpapar radikalisme.

Perhatikan saja pihak-pihak yang hingga sekarang pernah diberi stempel radikal:

Din Syamsudin radikal.

Amin Rais radikal.

Ahmad Dhani radikal.

Kwik Kian Gie radikal.

Rocky Gerung radikal.

Anggota HTI (sangat) radikal.

Habib Rizieq Shihab dan pengikut FPI radikal (banget).

Bila perlu, orang-orang yang dulu pernah menjadi bagian pemerintah, dan sekarang berdiri berseberangan karena pemikiran kritis mereka juga diberi stempel radikal.

Gatot Nurmantyo radikal.

Jusuf Kalla radikal.

Anies Baswedan radikal.

Pokoknya, siapa pun yang dianggap kritis, berbeda pendapat dengan arus utama pendukung pemerintah dianggap radikal.

Dan, dari sekian banyak individu atau kelompok yang dianggap radikal, ada satu golongan yang tidak pernah dikomentari, distempeli dan dituduh terpapar radikal: yakni para koruptor.

Setiap kali ada berita pengungkapan korupsi, atau pejabat pemerintah yang tertangkap tangan menerima suap dan diduga korupsi, tak ada satu pun buzzer pro pemerintah yang berteriak mereka radikal.

Tak ada yang berteriak Joko Tjandra radikal.

Tak ada yang menganggap Juliari Batubara radikal.

Tak ada yang berkata Edhy Pramono terpapar radikalisme.

Tak ada yang mengungkit-ungkit harta dan sanak saudara para tersangka korupsi Jiwasraya, Asabri dan BPJS Ketenagakerjaan.

Tidak ada yang berteriak kencang meminta pemerintah memblokir rekening para koruptor, sebagaimana mereka mendengungkan dukungan bagi pemerintah dalam memblokir rekening FPI yang dianggap radikal dan dinyatakan terlarang.

Bagi para pendukung pemerintah, orang-orang seperti ini tidak radikal. Para koruptor tidak pernah terpapar radikalisme.

Pantaslah apabila negara kita tidak pernah maju. Karena orang-orang yang maju dalam berpikir atau bertindak (radikal) selalu diawasi, dicurigai, dan bila perlu dibatasi gerak serta aktivitas mereka.

Sementara para koruptor  malah sering mendapat keistimewaan. Jangankan harta disita atau dimiskinkan tujuh turunan, di penjara saja mereka mendapat fasilitas yang mewah.

Negara ini selalu gaduh karena pemerintah selalu menjual 'radikalisme'.  Sejak pelantikan dan pembentukan kabinet pemerintahan Presiden Jokowi, tidak ada kata lain yang paling sering dibahas selain "Radikalisme".

Radikalisme seolah menjadi alasan untuk menutupi ketidakmampuan pencapaian pemerintah di segala bidang. Pertumbuhan ekonomi melambat, penegakan hukum yang tebang pilih, isu bagi-bagi jabatan, sampai korupsi yang kian merajalela.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun