Pasalnya, buzzer politik seringkali tidak mampu membedakan antara yang benar dan yang salah. Berita dan informasi hoaks pun bila perlu mereka viralkan. Bila di kemudian hari informasi yang mereka sebar itu palsu, cukuplah dengan menghapus postingan.Â
Tak ada penyesalan, apalagi permintaan maaf pada pengguna media sosial lain yang sudah ikut menyebarkan informasi palsu tersebut. Ujung jari mereka terkadang lebih cepat bergerak daripada otak dan hati.Â
Dengan enteng seolah tak punya rasa empati sama sekali, mereka mencuit dan mengunggah beragam postingan yang jauh dari nilai-nilai kemanusiaan. Tanpa mengindahkan sikap toleransi di tengah pandemi, mereka terus menggiring opini untuk satu tujuan tertentu.
Sayang sekali, keterlibatan buzzer di Indonesia dalam peristiwa politik, menurut penelitian CIPG, telah berkontribusi negatif terhadap citra dan pemaknaan khalayak terhadap buzzer. Sejak saat itu, buzzer mendapat cap negatif sebagai pihak yang dibayar untuk memproduksi konten negatif di media sosial.Â
Fatwa Haram MUI Terkait Aktivitas Buzzer Politik
Majelis Ulama Indonesia pernah memberi fatwa haram pada aktifitas buzzer yang menjadikan penyediaan informasi berisi hoaks, ghibah, fitnah, namimah, bullying, aib, gosip, dan hal-hal lain sejenis sebagai profesi untuk memperoleh keuntungan, baik ekonomi maupun non-ekonomi.
"Demikian juga orang yang menyuruh, mendukung, membantu, memanfaatkan jasa dan orang yang memfasilitasinya," tulis Fatwa MUI Nomor 24 Tahun 2017 tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah Melalui Media Sosial, khususnya mengenai buzzer.
Dalam konteks syariat agama, aktivitas semacam itu memang haram dan berdosa bila dilakukan. Namun, akibat dari ulah beberapa orang yang melibatkan buzzer dalam politik, profesi buzzer yang semula baik dan halal, kini terkena getahnya. Dipandang rendah dan diberi label haram.
Mengembalikan Profesi Buzzer Sesuai Fitrahnya
Seyogyanya, harus ada pemisahan istilah antara buzzer sebagai alat digital marketing dengan orang-orang yang sengaja melakukan aktivitas penyediaan informasi yang difatwa haram oleh MUI.Â
Karena hakikatnya, buzzer, seperti halnya influencer, blogger atau profesi lain yang dilahirkan media sosial, banyak digunakan perusahaan untuk meningkatkan keterlibatan merek dengan pengguna di media sosial.Â
Buzzer sejati tidak menebar kegaduhan dengan berbagai postingan yang penuh dengan narasi memecah belah dan ujaran kebencian. Cukuplah orang-orang yang demikian ini kita sebut "sampah demokrasi" yang tidak punya ideologi, selain isi perutnya sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H