Di sebuah kafe yang suasananya cozzy, dua anak muda masuk lalu mengambil tempat duduk. Keduanya langsung mengambil laptop dan menyalakannya.
Beberapa saat kemudian, anak muda yang memakai kaos oblong biru membuka layar ponsel, membalas pesan yang masuk. Setelah itu dia mengalihkan perhatian ke layar laptop untuk melihat pekerjaannya.
Baru beberapa detik, notifikasi ponselnya berbunyi. Dia pun menunduk, mengetikkan pesan balasan dan mengirimnya. Pandangannya kemudian beralih ke layar laptop. Notifikasi masuk lagi ke ponselnya, dia pun menunduk lagi dan membalas pesan. Begitu terus berulang-ulang hingga hampir satu jam.
Sementara anak muda kedua yang memakai hoodie kuning perhatiannya tertuju penuh pada pekerjaannya di laptop. Sebuah notifikasi pesan sempat masuk ke ponselnya. Anak muda ini membalas, lalu memasukkan ponsel ke dalam tas. Selama hampir satu jam itu, dia tidak menghiraukan beberapa notifikasi pesan lainnya.
Setelah satu jam, saya jamin orang kedua lebih produktif daripada yang pertama.
Perbedaan dua anak muda itu bukan karena salah satunya bekerja keras. Melainkan dia bekerja cerdas.
Kedua anak muda ini memiliki waktu yang sama, satu jam. Namun, anak muda berhoodie kuning memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya, sedangkan anak muda berkaos biru menyia-nyiakan waktu yang ia miliki. Inilah yang dimaksud adagium lebih baik bekerja lebih cerdas daripada bekerja lebih keras.
Bekerja lebih keras berarti mengukur kesuksesan berdasarkan waktu.
Bekerja lebih pintar berarti mengukur kesuksesan dengan apa yang telah dicapai.
Anak muda yang memakai hoodie kuning itu tahu bahwa kalau dia membiarkan pintu terbuka untuk gangguan (alias menyalakan ponsel dan meletakkannya di meja), dia akan terganggu.