Hampir di setiap mall atau pusat perbelanjaan yang lantainya lebih dari satu, ada eskalator. Tahu kan bentuknya? Tangga yang bisa berjalan sendiri. Jadi, kita tak perlu repot-repot menggerakkan kaki untuk menaiki satu per satu anak tangganya. Cukup berdiri tegak, tak lama kemudian kita sudah sampai di lantai atas.
Biasanya pula, di sebelah eskalator itu ada tangga biasa. Buat jaga-jaga misalnya si eskalator itu ngambek karena kurang perawatan. Nah, karena tidak ada mesin yang menggerakkan, kita harus melangkahkan kaki untuk menaiki anak tangganya.
Sekarang coba bayangkan dirimu hendak naik ke lantai atas. Di depanmu, ada eskalator dan tangga manual. Kamu pilih lewat mana? Pilih eskalator dong, ngapain capek-capek naik tangga?
Benar enggak?
Orang yang praktis memang akan memilih naik eskalator. Tapi, orang yang cerdas justru memilih naik tangga biasa.
Kok bisa?
Coba jawab, ketika kamu naik eskalator apa yang kamu lakukan?
Cuma menunggu. Di saat menunggu itu, tanganmu mungkin gatal lalu mengambil ponsel dan menggulirkan umpan berita di media sosial. Matamu kadang jelalatan melihat ke atas sedikit berbelok arah kanan dan kiri, mungkin ada sesuatu yang menarik untuk diperhatikan.
Mungkin pula keputusanmu naik eskalator karena kamu merasa lelah, ingin istirahat sejenak. Atau menikmati momen hening bersama pasangan sambil bergandengan tangan.
Ya, orang yang naik eskalator hanya bisa berdiri dan menunggu, berharap mesin ajaib yang menggerakkan anak tangga itu segera membawanya ke tempat tujuan. Saat menunggu itu mereka kehilangan momentum
Sementara itu, orang-orang yang naik tangga tahu bahwa setiap menit itu berharga. Mereka melihat serangkaian anak tangga yang mengarah ke atas dan berkata, "Oke, lanjutkan!"