Seorang penulis buku terkenal duduk di ruang kerjanya. Setelah termenung sejenak, dia mengambil penanya lalu mulai menulis :
"Tahun lalu, saya harus dioperasi untuk mengeluarkan batu empedu. Saya harus terbaring cukup lama di ranjang rumah sakit. Di tahun yang sama, saya berusia 59 tahun dan memasuki usia pensiun, keluar dari pekerjaan di perusahaan yang begitu saya senangi. Saya harus meninggalkan pekerjaan yang sudah saya tekuni selama 32 tahun.
Di tahun itu juga saya ditinggalkan ayah yang tercinta. Kemudian masih di tahun yang sama, anak saya gagal di ujian akhir kedokteran, karena kecelakaan mobil. Biaya bengkel akibat kerusakan mobil adalah puncak kesialan di tahun lalu."
Di bagian akhir dia menulis:
"Sungguh, tahun itu tahun yang sangat BURUK!"
Istri sang penulis masuk ke ruangan dan mendapati suaminya yang sedang sedih dan termenung. Dari belakang, sang istri melihat tulisan sang suami. Perlahan-lahan ia mundur dan keluar dari ruangan.
Lima belas menit kemudian, dia masuk lagi ke ruang kerja suaminya dan meletakkan sebuah kertas berisi tulisan:
"Tahun lalu, akhirnya suami saya berhasil menyingkirkan kantong empedunya yang selama bertahun-tahun membuat perutnya sakit. Di tahun itu juga, saya bersyukur, suami bisa pensiun dengan kondisi sehat dan bahagia. Saya bersyukur kepada Tuhan dia sudah diberikan kesempatan berkarya dan berpenghasilan selama 32 tahun untuk menghidupi keluarga kami. Sekarang, suami saya bisa menggunakan waktunya lebih banyak untuk menulis, hobi yang sudah sejak lama disenangi dan ditekuninya.
Pada tahun yang sama, mertua saya yang berusia 95 tahun tanpa sakit apa-apa telah meninggal dengan damai dan bahagia.. Dan masih di tahun yang sama pula, Tuhan telah melindungi anak saya dari kecelakaan yang hebat. Mobil kami memang rusak berat akibat kecelakaan tersebut, tetapi anak saya selamat tanpa cact sedikit pun."
Di bagian akhir, sang istri menulis :
"Tahun lalu adalah tahun yang penuh berkah yang luar biasa dari Allah yang sudah kami lalui dengan penuh rasa takjub dan syukur".
Sang penulis yang membaca tulisan istrinya itu tersenyum haru. Dari kedua matanya keluar air mata hangat yang mengalir hingga ke pipi. Dalam hati, ia berterima kasih atas sudut pandang yang berbeda yang sudah diberikan istrinya. Sudut pandang yang telah membuatnya bersyukur dan membuat dirinya bahagia.
***
Kawan, dalam hidup tidak ada realitas universal. Kalaupun ada, kita tidak dapat melihatnya. Meskipun kita melihat pada lingkungan yang sama, kita memandangnya secara berbeda.
Kita mungkin memandang awan yang sama. Tapi engkau melihat seekor gajah dan aku melihat seekor kucing.
Kita mungkin mendengarkan musik yang sama. Tapi engkau menikmati musik tersebut dan membuat dirimu santai, sementara aku terganggu hingga diriku menjadi stres.
Kita mungkin mencium parfum yang sama. Tapi di saat hidungmu menyesap aromanya dengan nikmat, Â sementara aku mengerutkan hidung.
Begitulah, kita memang menerima informasi yang terlihat, terdengar, dan kinestatik yang sama dengan orang lain. Tetapi masing-masing diri kita memrosesnya secara berbeda. Kita membangun realitas unik kita sendiri, berdasarkan sudut pandang yang kita ambil.
Persepsi dan pengalaman kita menentukan bagaimana kita memroses setiap informasi yang kita terima itu. Perspektif kita menentukan realita. Jadi, apapun masalah yang kita hadapi pada dasarnya tergantung dari sudut mana kita memandangnya.Â
Menghadapi Masalah dengan Fokus Pada 3 HalÂ
Untuk dapat memandang dari sudut yang berbeda agar dapat menghadapi setiap masalah yang kita hadapi, terlebih dahulu kita harus fokus pada 3 hal berikut ini:
Fokus pada apa yang kita miliki, bukan apa yang kita inginkan
"Jangan merusak apa yang kamu miliki dengan menginginkan apa yang tidak kamu miliki; ingatlah bahwa apa yang kamu miliki sekarang pernah menjadi salah satu hal yang kamu harapkan. " - Epicurus
"Jangan dilepaskan dari tangan, barang yang telah ada, karena mengharapkan barang yang jauh. Seorang mukmin mensyukuri nikmat yang telah ada dalam tangannya dan menerima dengan mensyukuri bilamana mendapatkan tambahan lagi." - Buya Hamka
Kita selalu mendambakan apa yang tidak  atau belum kita miliki. Bentuk tubuh yang langsing, rekening di bank yang gemuk (bila perlu tak akan habis tujuh turunan). Mobil yang lebih mewah, rumah yang lebih besar dan modern. Bahkan, kadang-kadang ada saja yang menginginkan suami yang lebih tampan atau istri yang lebih cantik. Benar tidak?
Itu normal, karena hakikatnya manusia memang diciptakan dengan hawa nafsu. Tapi, kalau kita terlalu sering menginginkan sesuatu yang belum kita miliki, kita tidak menyadari apa yang sudah kita capai selama ini.
Hargai apa yang sudah kita miliki alih-alih menginginkan apa yang belum kita miliki. Dengan begitu, kita bisa  fokus pada apa yang membuat kita bahagia alih-alih apa yang membuat kita khawatir. Kurangi mengeluh, perbanyak bersyukur, dan kita dapat mengganti kekhawatiran dengan kebahagiaan.
Fokus pada apa yang dapat kita kontrol, bukan pada apa yang tidak dapat kita kendalikan
Kita tidak dapat mengontrol cuaca. Tetapi kita dapat memutuskan apakah kita akan memakai jas hujan atau apakah kita memiliki rencana cadangan jika hujan turun.
Kita tidak dapat mengontrol lalu lintas. Tetapi kita dapat memutuskan apakah kita pergi lebih awal atau ngopi dulu di warung sebelah, lalu berangkat dengan ngebut di jalanan dan mengomel saat terjebak macet. Â
Kita tidak dapat mengontrol pandemi Covid-19. Tetapi kita dapat memutuskan apakah kita mencuci tangan, menjaga jarak, memakai masker, dan memanfaatkan waktu luang yang tersedia dengan baik.
Jangan khawatir tentang apa yang ada di luar kendali kita. Sebaliknya, fokuslah pada apa yang bisa kita lakukan.
Saat kita mengubah perspektif, dua hal terjadi. Pertama, kita tidak akan terlalu khawatir. Kedua, kita akan memiliki lebih banyak waktu dan energi untuk hal-hal yang dapat kita pengaruhi.
Fokus pada fakta, bukan emosi
Setiap kali menghadapi masalah, emosi negatif kita selalu terlibat. Marah, jengkel, sedih. Seolah-olah Tuhan sudah berbuat tidak adil bagi kita.
Ya memang begitulah kenyataannya. Ini adalah mekanisme umpan balik yang digunakan otak kita untuk memberitahu apakah peristiwa yang terjadi di sekitar kita baik atau buruk. Masalahnya adalah, kita sering membiarkan emosi negatif ini menguasai diri kita.
Akibatnya, pikiran kita memberikan gambaran yang tidak akurat tentang apa yang terjadi di sekitar kita. Psikolog menyebutnya bias atau distorsi kognitif. Apa yang kita anggap benar ternyata tidak benar.
Saat kita menghadapi masalah, fokuslah pada fakta positif daripada perasaan negatif.
Studi menunjukkan bahwa cara kita memandang situasi stres menentukan apakah situasi tersebut akan berdampak positif atau negatif bagi kita. Kita bisa marah karena teman atau klien membatalkan janji, atau merasa senang karena punya lebih banyak waktu untuk diri sendiri.
Kita bisa sedih karena kena PHK, atau bersyukur karena punya waktu untuk mengembangkan hobi menjadi bisnis sendiri dan punya lebih banyak waktu bersama keluarga. Kita bisa jengkel karena hujan turun seharian, atau bersyukur karena tanaman di rumah menjadi segar. Ini semua tentang perspektif kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H