Syukurlah, setelah sempat tarik ulur wacana vaksin subsidi dan mandiri, pemerintah melalui Presiden Jokowi memutuskan vaksinasi Covid-19 yang menggunakan vaksin Sinovac gratis. Presiden Jokowi sendiri bahkan bersedia menjadi orang pertama di Indonesia yang disuntik vaksin tersebut.
Tentu ini menjawab keraguan banyak pihak yang sebelumnya meminta Presiden Jokowi sebagai teladan dengan disuntik vaksin terlebih dahulu, sehingga seluruh rakyat Indonesia tidak ragu-ragu untuk divaksinasi.
Meski begitu, masih ada satu keraguan yang hingga saat ini belum mendapat jawaban yang pasti. Seberapa efektif vaksin gratis dari Sinovac menangkal virus corona? Apakah vaksin Sinovac yang diberikan secara gratis pada rakyat Indonesia ini bisa mengikis habis pandemi Covid-19 di tanah air?
Keraguan lewat pertanyaan-pertanyaan tersebut bukan tanpa dasar sama sekali. Di media sosial, banyak beredar informasi dari dokter, pakar virus maupun ahli kesehatan lain yang intinya meragukan efektivitas vaksin yang diproduksi Sinovac ini.
Seperti yang ditulis dr. Taufiq Muhibbuddin Waly, Sp. PD melalui artikelnya yang berjudul Agama Covid-19, Vaksin Dagelan dan Vaksin Horor. Menurut dr. Taufiq, titer antibodi neutralizing Sinovac, bersama dengan CanSinobio adalah terendah dari vaksin-vaksin lainnya. Limposit T sitotoksi tidak diperiksa pada riset vaksin Sinovac. Percobaan vaksinasi pada orang tua lanjut usia (di atas 60 tahun) tidak dilakukan oleh Sinovac. Padahal ujicoba pada orang tua mutlak harus ada pada uji klinis fase 2 riset vaksin.
Dengan dasar-dasar tersebut, beberapa ahli kesehatan menilai vaksin Sinovac memiliki efek samping setingkat placebo. Artinya, efek yang dihasilkan bukan berdasarkan kinerja vaksin melawan virus, melainkan dari persepsi dari subyek yang divaksinasi.
Ada pula tulisan dari dr. Erta Priadi Wirawijaya, Sp. JP yang mengulas efikasi (kemanjuran) vaksin. Lewat infografis yang disajikan akun instagram @pandemictalks, ulasan dr. Erta senada dengan dr. Taufiq yang meragukan efektifitas vaksin Sinovac.
Efikasi vaksin ditentukan berdasarkan munculnya gejala COVID-19 pada subjek penelitian fase 3. Gejalanya bisa ringan, sedang, berat setelah ada gejala barulah diperiksa swab PCR. Penelitian fase 3 diacak tersamar ganda, artinya penyuntik vaksin atau peserta penelitian tidak tahu yang disuntik itu apa vaksin atau larutan Garam. Saat diteliti mereka yang bergejala lalu positif COVID-19 jumlahnya kemudian dibandingkan antara yang diberi vaksin dan yang diberikan larutan garam/plasebo. Angka efikasi vaksin 86-95% itu artinya dari 100 orang yang bergejala lalu positif COVID 19 sebanyak 86-95 orang adalah mereka yang disuntik larutan garam atau plasebo.
Dari 6 vaksin yang sudah diproduksi (Moderna, Pfizer BioNTech, Astrazaneca, Gamaleya/Sputnik V, Sinopharm dan Sinovac), lima vaksin di antaranya sudah memiliki bukti efikasi antara 86%-92%. Sementara vaksin yang diproduksi Sinovac Life Sciences Co, Ltd (Sinovac Biotech) belum ada bukti efikasinya.
Hal ini juga ditegaskan Sekretaris Bio Farma, Bambang Heriyanto yang mengatakan belum ada rilis laporan efikasi atau hasil uji klinis dari Sinovac. Â Bio Farma merupakan BUMN yang ditunjuk pemerintah sebagai distributor dan mitra kerjasama dengan Sinovac Biotech.
"Sampai saat ini belum ada rilis terkait dengan efikasi atau hasil uji klinis. Mau efikasi atau inhomogeneity, jadi efektivitas itu belum ada yang disampaikan tim klinis karena nanti hasil uji klinis ini akan dilaporkan oleh tim uji klinis vaksin covid-19 kepada BPOM," katanya.
Dia mengatakan data interim akan disampaikan kepada BPOM pada Januari mendatang untuk mendapatkan skema penggunaan vaksin dalam keadaan darurat (emergency authorisation use).
Lebih jauh, permintaan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang meminta presiden beserta jajarannya disuntik vaksin terlebih dahulu juga menyiratkan pesan tersembunyi, bahwa IDI belum sepenuhnya percaya dengan keunggulan vaksin Sinovac. Logikanya, jika vaksin Sinovac memiliki tingkat efikasi yang tinggi, IDI tanpa ragu tentu akan mengampanyekan vaksinasi massal, apalagi ketika pemerintah sudah menjamin gratis bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Logikanya lagi, jika Sinovac efektif, pemerintah Cina tentu akan melakukan vaksinasi massal pada rakyatnya dengan vaksin Sinovac. Nyatanya, pemerintah Cina malah memesan 100 juta dosis vaksin Pfizer BioNTech untuk rakyatnya.
Sejauh ini, baru Indonesia dan Brasil yang sudah memesan vaksin Sinovac. Bahkan pengiriman pertama Sinovac sudah tiba di Indonesia pekan lalu. Sementara pemerintah Brasil malah memutuskan untuk menunda penerbitan laporan data kemanjuran vaksin Sinovac. Data akan dirilis pada Rabu (23/12), lebih lambat delapan hari dari yang direncanakan.
Penundaan tersebut muncul setelah lembaga kesehatan Brasil, Anvisa, menuduh Sinovac menggunakan kriteria yang "tidak transparan" untuk mendapatkan persetujuan darurat atas vaksin CoronaVac.
"Kriteria Cina yang diterapkan untuk memberikan otorisasi penggunaan darurat di Cina tidak transparan," kata Anvisa dalam sebuah pernyataan.
Atas dasar fakta-fakta tersebut, banyak dokter menyarankan agar masyarakat tetap menjalankan protokol kesehatan, sekalipun sudah disuntik vaksin Sinovac. Tetap memakai masker, mencuci tangan dengan sabun sesering mungkin, menjaga jarak dan menghindari kerumunan.
Bagi saya pribadi, saya cenderung memilih untuk mengikuti saran para dokter tersebut. Sekalipun nanti pemerintah  menggratiskan vaksinasi yang menggunakan vaksin Sinovac, saya memilih untuk tidak ikut divaksin.Â
Jika tidak diwajibkan negara untuk ikut vaksinasi, lebih baik saya tetap menjaga imunitas tubuh dan menerapkan protokol kesehatan, sembari menunggu adanya vaksin lain yang sudah terbukti efikasi dan efektivitasnya dibandingkan vaksin Sinovac. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H