Sementara itu, terkait viralnya nama Gaj Ahmada, Herman Sinung Tanujama membantah nama tersebut muncul dalam buku penelitiannya.
"Sepanjang bacaan kami status viral tersebut beberapa hal tidak terdapat pada buku kami. Misalnya penjelasan tentang Gaj Ahmada. Dalam buku tertulis Gajah Ahmada. Leburan suku kata "Ah" dalam bentukan kata Gajahmada adalah hukum GARBA dalam gabungan 2 kata atau lebih dalam kawi atau sansekerta.
Dalam khasanah Jawa, tidak mungkin diizinkan kata GAJ, yang mematikan konsonan JA. Sebagaimana suku kata WA juga tidak diizinkan dimatikan, hanya W saja," tulis Herman dalam postingan di akun facebook Wakil Ketua PD Muhammadiyah Kota Yogyakarta Ashad Kusuma Djaya.
Lalu, mana yang benar? Siapa yang memenangkan pertarungan sejarah, apakah Gajah Mada atau Gajah Ahmada?
Orang banyak boleh berkeyakinan Gajah Mada yang Maha Patih Majapahit itu beragama Hindu-Budha, sebagaimana agama yang dipeluk mayoritas penduduk Majapahit saat itu. Namun, kita juga tidak bisa begitu saja menyalahkan sebagian orang yang skeptis dan setuju dengan wacana bahwa Mahapahit sebenarnya kesultanan Islam, dan patihnya saat itu bernama Gajah Ahmada.Â
Mungkin ada metode penelitian yang salah dari penulis buku Kesultanan Majapahit. Atau bisa juga deduksi yang mereka ambil tidak didukung bukti-bukti sejarah yang kuat. Tapi, tidak dengan entengnya kita kemudian mencibir dan mencemooh kesimpulan yang sudah mereka buat.
Siapa tahu, kelak ada sejarawan lain yang bisa membuktikan dengan jelas dan tanpa keraguan, bahwa Kesultanan Majapahit itu benar adanya. Sebagaimana yang pernah dilakukan Michael H. Hart, setelah 14 tahun meneliti kembali berbagai argumen dan fakta, kemudian merevisi bukunya yang terkenal dan menyimpulkan Edward de Vere sebagai William Shakespeare.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H